Satu Dasawarsa Melawan Limbah Berbahaya (1)

6287

Dugaan pencemaran air sumur memang hampir terjadi merata di Lakardowo. Untuk membuktikannya, pengujian dilakukan dengan p menggunakan TDS meter. Salah satunya di rumah Muliadi (55), didapati kandungan TDS mencapai 2,200 ppm/ml.

Begitu juga dengan air sumur milik Jamak (60) yang berada 200 meter di sisi barat perusahaan, TDS nya di atas 2,000. Padahal, berdasar Permenkes Nomor 492 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Minum, ambang batas maksimum TDS hanya 500 ppm/ml.

Buruknya kualitas air di Lakardowo membuat air bersih menjadi barang mahal. Tak hanya untuk minum. Untuk kebutuhan memasak, warga terpaksa membeli air bersih. Air sumur hanya dipergunakan untuk mandi orang dewasa dan juga cuci piring. “Kalau dipakai masak nasinya kehitam-hitaman,” kata Jamak.

Kondisi itu pula yang memaksa Faridah (29) mengeluarkan biaya lebih. Saban hari, ia harus membeli dua galon air bersih untuk memandikan anaknya yang berusia 21 bulan. “Kalau ndak pakai air bersih begini ya nanti gatal-gatal,” katanya saat memandikan putra semata wayangnya.

Baca Juga :   RSUD Dr. R. Soedarsono Tak Serius Tangani Limbah Medis

PT. PRIA yang berdiri sejak 2010 sendiri, semula tercatat sebagai perusahaan pengangkut limbah B3. Bukan pengumpul, pengolah, apalagi pemanfaat seperti saat ini. Izin ketiganya (pengumpul, pengolah dan pemanfaat) baru didapat beberapa tahun kemudian.

Izin pengolahan dengan menggunaan insenerator misalnya. Baru didapat pada tahun 2014 dengan nomor 08.26.12 tahun 2014. Lalu, izin pemanfaatan B3 nomor 128./MENLHK/Setjen/PSLB3/2/2016 yang diperoleh dua tahun kemudian (2016).

Kendati ketiga jenis izin itu baru dikantongi pada 2014-2016, kegiatan pengolahan dan pemanfaatan sudah berlangsung sejak perusahaan ini berdiri. Bahkan, saat proses pembangunannya, perusahaan yang memiliki 17 grup perusahaan ini juga diduga memanfaatkan material limbah sebagai urukan (pemadatan).

Satu-satunya di Indonesia Timur

Baca Juga :   Sekitar 77 Ribu KK, Warga Pasuruan Tak Miliki Jamban

PT. PRIA merupakan satu-satunya pengolah limbah medis di Jawa Timur. Meski begitu, jangkauan kerjanya meliputi hingga rumah sakit-rumah sakit di Bali, seperti RS. Sanglah hingga RS. Nusa Tenggara Barat (NTB). Pengiriman limbah medis dilakukan melalui jalur darat dengan menggunakan kendaraan box.

Di Jawa Timur, berdasar data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terdapat 400 rumah sakit. Dari angka itu, hanya 23 yang mampu mengolah limbah medisnya secara mandiri (KLHK, 2018); 90-an persen dikelola PT PRIA dan sisanya dikerjakan perusahaan lain seperti PT. Triata, Wastec, hingga Arah Environmental Indonesia yang berada di Solo.

Armada PT. PRIA keluar dari RSUD Bangil untuk mengambil limbah medis. Foto: Asad Asnawi.

Untuk limbah medis dari luar Jatim, PT. PRIA bekerjasama dengan pihak ketiga lantaran keterbatasan armada. “Untuk area Jatim, kami sendiri yang mengambil. Makanya, kalau ada pihak lain yang mengambil, berarti itu tidak dibawa ke kami,” jelas Rudy Kurniawan, juru bicara PT. PRIA.

Baca Juga :   Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang Terasa Lebih Panas, Kenapa ya?

Limbah medis dari RS Sanglah Bali adalah salah satu yang pengelolaannya bekerjasama dengan perusahaan ini. Di sana, volume limbah medis yang dihasilkan cukup tinggi hingga mencapai 1 ton setiap harinya. Untuk ongkos jasa pengolahan, PT PRIA mematok harga sekitar Rp 30 ribu setiap kilonya.

Rudy menyebut, ongkos jasa yang dipatok untuk wilayah Jawa Timur antara Rp 17-20 ribu. Bergantung jarak yang ditempuh. Ongkos tersebut lebih mahal ketimbang limbah B3 dari industri. Seperti sisa pembakaran batubara yang dihargai Rp 50-500 setiap kilonya. Mahalnya biaya pengelolaan limbah medis juga lantaran sifat dan karakternya yang infeksius hingga memerlukan perlakukan khusus.