Terdampak Pandemi, Manajer Mall di Bali Ini Bangkit berkat “Djajan Ndeso”

6427

 

Pandemi Covid-19 mengajarkan banyak hal. Setyawan, mantan manajer sebuah mall di Bali mengisahkan ceritanya.

Laporan: Miftahul Ulum

NAMANYA Setyawan. Ia seorang engineer di salah satu mall baru di Bali, sejak oktober 2019, lalu. Di tempat kerjanya itu, ia bahkan sempat dipercaya sebagai acting manager. Tapi, pandemi Covid-19 membuyarkan segalanya.

Ditemui di rumahnya, Sabtu (7/11/2020), Setyawan tengah sibuk menemani dua putranya mengikuti pembelajaran daring. Yang besar kelas 1 SMP, sedang adiknya kelaz 1 SD. Ia membersamai kedua anaknya melakukan pembelajaran daring. Maklum, istrinya sudah berangkat kerja.

“Ya begini, mengurus anak, mendampingi belajar daring, istri sudah berangkat kerja tadi,” sambutnya kepada WartaBromo, yang baru tiba di kediamannya di Kepulungan, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.

Setelah memutuskan resign dari pekerjaanya di Bali, kini Setyawan menggeluti usaha makanan ringan tradisional. Djajan Ndeso namanya. Setyawan kulakan aneka penganan tradisional itu dari produsen di Mojokerto.

Baca Juga :   Indonesia Dijajah 350 Tahun, Hanya Mitos?

Sebelum itu, sejak Maret-April, ia masih tertahan di Bali tanpa kepastian bisa pulang. Sedangkan pekerjaannya di Bali sebagai acting manager juga sudah terdampak pandemi. Mall baru tersebut praktis lumpuh.

Meskipun tidak kehilangan pekerjaanya, Setyawan gamang. Antara mempertahankan bekerja di Bali tanpa bisa pulang atau pulang tanpa pekerjaan.

Pada akhirnya, ia pun memilih keluarga dan bertaruh dengan melepas pekerjaan dengan gaji yang lumayan besar. “Uang bisa di cari mas, keluarga tidak bisa,” tuturnya menguatkan dirinya sendiri.

Sebuah cerita yang membuatnya trenyuh mengiringi saat ia dalam perjalanan pulang. Ketika itu, Pelabuhan Gilimanuk melarang perjalanan orang, terutama dengan sepeda motor imbas pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Tapi, ia nekat dengan tetap membawa sepeda motornya dari Denpasar. Sampai di pelabuhan, ia tidak diperbolehkan menyeberang. Bahkan, bersama dua temannya, ia harus tertahan dan bermalam di pelabuhan.

Baca Juga :   Budidaya Labu Madu, Panen Rupiah saat Wabah

Setelah bernogeoisasi dengan petugas di sana, ia dan kedua temannya akhirnya diperkenankan untuk menyeberang dengan cara motornya diangkut terpisah dengan pick up.

“Berapa ongkosnya pak?” tanya Setyawan kepada sopir pikap yang mengangkur motor ketiganya. “Gampang Mas,” jawabnya kepada Setyawan.

“Dalam hati saya malah tidak enak. Jangan-jangan nanti malah dimahalkan ongkosnya, bisa-bisa satu sepeda motor 500 ribu rupiah,” ungkapnya kepada WartaBromo.

Sesampainya di Pelabuhan Ketapang, ia harus mencegat di luar pelabuhan agar tidak kentara. Tak disangka, saat akan dibayar, sopir tersebut enggan menerimanya.

“Tidak usah Mas, saya niat menolong, saya ingat anak saya yang merantau di Jakarta, dia tidak bisa pulang,” ucap sopir tersebut sembari sesembapan.

Baca Juga :   Menjaring Ilmu di Dermaga, Berekreasi Literasi

“Sudah terima saja pak, kalau tidak mau menerima uang saya, tolong diterima uang ganti ongkos angkut barangnya saja,” Setyawan memaksa memberikan ongkos kepada sang sopir.

Akhirnya sang sopir menerima uang 75 ribu rupiah untuk tiga motor sebagai ganti ongkos barang masuk pelabuhan.

Pada 2 Mei 2020, Setyawan akhirnya sampai di rumahnya di Kepulungan. Sesuai protokol, ia pun harus menjalani karantina mandiri selama 14 hari.

Sebelum pulang, ia sudah menghubungi Ketua RT dan Perangkat desa setempat untuk keperluan isolasi mandiri. Akan tetapi, karena belum adanya kasus positif di Kepulungan, perangkat desa bingung untuk menyiapkan tempat isolasi.

“Akhirnya saya diisolasi di ruko depan situ Mas, milik sepupu saya, bekas laundry, sahur di situ, buka di situ, tiap hari dikirimi makan istri,” terangnya.