Terdampak Pandemi, Manajer Mall di Bali Ini Bangkit berkat “Djajan Ndeso”

6427

Sepekan pertama karantina, Setyawan stress. Ia tidak bisa bertemu keluarga. Sekaligus terkurung dan tidak bisa melakukan aktivitas seperti sedia kala. Namun, di pekan kedua, ia tak mau berdiam diri, Setyawan turun tangan menjadi relawan Lifeshield, yakni pembuatan faceshield gratis untuk tenaga kesehatan.

“Daripada saya tidak ngapa-ngapain, saya kontak teman di Jakarta, saya menawarkan diri menjadi relawan lifeshield. Akhirnya saya bisa membagikan 200 pcs faceshield untuk nakes di sini,” terangnya.

Selama karantina, Setyawan mengaku tidak pernah mendapat penanganan dari nakes Puskesmas. Bahkan dari perangkat desa tidak ada yang menjenguknya. Seakan pembalasan, setelah Selesai karantina, ia malah membagikan faceshield yang ia buat kepada nakes di beberapa puskesmas dan rumah sakit di Kecamatan Gempol dan Pandaan.

Sebulan, waktu yang ia butuhkan untuk penyesuaian diri dengan pandemi. Ia mengandalkan tabungannya dan penghasilan dari istrinya.

Baca Juga :   Indonesia Dijajah 350 Tahun, Hanya Mitos?

Juli 2020, Setyawan mulai bangkit, melihat peluang makanan ringan tradisional yang belum banyak dijajakan di toko. Ia membeli beberapa jenis makanan dari salah satu produsen di Mojokerto dan menjualnya kembali.

Awalnya ia menjual makanan tersebut di salah satu toko milik pamannya. Ia menitipkan keripik tempe, carang mas, opak, dan lain-lain. Ia membandrol dagangannya di kisaran harga Rp. 4000-12.000.

Modal awalnya sekitar Rp. 600.000 untuk menyetok dagangan satu toko yang berisi 12 macam jenis makanan. Setiap 1-3 minggu sekali, ia menyetok kembali dagangannya yang habis di tiap toko. Dari sana ia mendapat pendapatan kotor Rp.250.000 – 350.000.

Agustus, Setyawan memilih brandnya sendiri, Djajan Ndeso. Kini ia sudah meluaskan jejaring toko yang menyediakan dagangannya.

Ada 15 toko yang tersebar di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Sidoarjo. Dari sana, ia menyisihkan per bulan Rp. 1.000.000 untuk kebutuhan sehari-hari dan sisanya ia tambahkan sebagai modal.

Baca Juga :   Budidaya Labu Madu, Panen Rupiah saat Wabah

Pengurusan Legalitas Jadi Keluhan

Ada satu hal ketika ditanya kendala yang dihadapi oleh pelaku UMKM. Dan itu bukan soal modal, melainkan legalitas. Ia mengeluhkan proses pengurusan P.I.R.T yang rumit, sehingga pelaku UMKM tidak bisa menembus toko modern. Karena syarat barang bisa dijual di toko modern adalah P.I.R.T.

“Selama ini orang-orang mengeluh itu, sudah rumit, tidak tahu caranya. Mereka hanya mengandalkan pasar tradisional dan toko-toko kelontong. Oleh karena itu, perlu kiranya adanya sosialisasi atau pendampingan pelaku UMKM dalam hal legalitas,” keluhnya.

Menurutnya, soal rasa maupun kreasi, produk UMKM tidak kalah dengan produk dari pabrikan. Hanya saja produk tersebut tidak bisa masuk ke toko modern, sehingga akses konsumen terbatas untuk membeli produk UMKM.

Baca Juga :   Menjaring Ilmu di Dermaga, Berekreasi Literasi

“Sekarang UMKM dianggap mampu bertahan di tengah pandemi, ya pemerintah harus bantu, tidak sulit kok, sosialisasi untuk pengurusan legalitas bisa disampaikan oleh perangkat desa atau kecamatan, sehingga pelaku UMKM bisa lebih dekat mengakses informasi,” imbuhnya.

Setyawan berharap, adanya kepedulian pemerintah mendampingi pelaku UMKM untuk urusan legalitas. Apabila legalitas dimiliki, maka tidak ada halangan lain produk UMKM untuk merambah ke pasar ke toko modern.

“Saya inginnya beberapa produk ini bisa masuk ke toko Basmalah, atau toko 212 mart. Tapi syaratnya ya itu, ada P.I.R.T nya. Saya sudah memasukkan beberapa produk ke 212 mart Sidoarjo yang sudah ada P.I.R.Tnya,” tambahnya.

Ia membayangkan melalui pemberdayaan UMKM dan terintegrasinya produsen UMKM dengan pasar, akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Seperti, pasar jajanan lokal Pandaan tiap minggu, bisa digelar oleh komunitas dan pelaku UMKM.