Arimbi

1007

Namun kalau boleh dibandingkan, nasib Satya masih mendingan. Ada lagi mantan pacarnya yang bernasib lebih parah. Namanya Sohib. Barangkali ia satu-satunya pacar Arimbi yang paling apes.

Peristiwa itu terjadi semasa Arimbi kuliah. Di hari ulang tahunnya, Sohib mengajaknya ke daerah perbukitan. Sebenarnyalah Sohib tidak ada maksud apa-apa. Ia hanya menyiapkan lampion-lampion yang membentuk nama kekasihnya di taman. Ketika mereka berdua berjalan menuju taman, ia meminta Arimbi menutup matanya.

Arimbi mungkin terlalu sensitif. Saat berjalan ia merasa tangan Sohib menggerayangi bagian-bagian tubuhnya. Sontak Arimbi langsung melepas penutup mata dan melayangkan tendangan tepat ke selangkangan Sohib. Sohib jatuh dan menggeliat di tanah, seperti kucing sekarat.

“Ya Tuhaaan… Masa depanku…” ringkih Sohib waktu itu.

Tiga hari setelah itu Arimbi putus dari Sohib dan seminggu kemudian ia mendengar burung perkutut Sohib tak bisa tegak lagi.

Baca Juga :   Lempuyangan, Sebuah Ingatan

Setelah tidak menemukan bukti bahwa Tarno yang mencuri buah dadanya—Tarno muncul di dapur dengan mulut menggigit anak tikus—Arimbi menduga barangkali mantan-mantan pacarnya telah bersekongkol mencuri buah dadanya secara diam-diam. Jika ada kejadian seorang bocah yang bisa bertelur, mengapa pencurian buah dada tidak bisa terjadi?

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk.

“Dari: Tiwi

Aku hafal bentuk buah dadamu. Mengapa kau melepasnya? Aku baru saja lihat buah dadamu dibungkus plastik dan dibawa keliling perumahanku oleh pedagang karpet”.

Bergegas ia berganti pakaian dan meluncur ke rumah Tiwi. Ia tidak peduli hari ini tidak masuk kerja. Lebih baik tidak masuk kerja daripada masuk tetapi hanya jadi bahan tertawaan karena dadanya yang rata.

“Ke mana pedagang karpet itu?” tanyanya ketika sampai di rumah Tiwi.

Tiwi menunjukkan jalur keliling si pedagang karpet dan menjelaskan rumah-rumah yang biasa membeli barang pedagang karpet. Sepuluh menit berkeliling, Arimbi melihat si pedagang yang dimaksud. Ia langsung menghentikan sepeda motornya tepat di depan si pedagang karpet.

Baca Juga :   Daerahnya Langganan Banjir, Alfin Malah Wakili Indonesia ke Australia

“Stop!” katanya.

Pedagang karpet itu kaget. Ia mungkin mengira perempuan di depannya ini akan merampok dagangannya.

“Kulihat tadi kau membawa…” Arimbi kesulitan untuk mengatakan langsung. Lalu tangannya memberi isyarat bentuk buah dada.

“Oh, maksud Anda buah dada?”
“Ya, betul.”
“Saya menemukan barang itu di jalan, Mbak.”
“Sekarang kemana barangnya?”
“Sudah tidak ada pada saya, Mbak.”
“Lalu ada pada siapa?”
“Penjual galon,” ia menunjuk ke sebuah toko galon isi ulang.

Tanpa menimpali, Arimbi segera memacu sepeda motornya menuju toko galon. Sepi. Tidak ada penjaga. Setengah berteriak Arimbi mengucap ‘permisi’, hingga seorang pria agak tua keluar dari dalam rumah.

“Bapak tadi membeli sesuatu dari pedagang karpet?” lagi-lagi Arimbi kesulitan untuk mengatakan langsung dan tangannya lagi-lagi membuat isyarat bentuk buah dada.

Baca Juga :   Masalah Pernikahan

“Oh, maksud Anda buah dada?”
“Apapun, yang tadi bapak beli dari pedagang karpet.”
“Tapi barangnya sudah tidak ada, Mbak. Padahal rencananya mau saya tempel di papan toko. Bentuknya artistik.”
“Bapak menjualnya?”
“Tadi waktu saya mau memasangnya di papan toko, ada seorang laki-laki ke sini dan menawarnya dengan harga mahal. Katanya untuk anaknya yang masih bayi. Istrinya tidak sempat menyusui karena sibuk kerja. Saya kasihan, akhirnya saya berikan saja,”
“Bapak kenal dengan laki-laki itu?”
“Kenal sih tidak. Tapi kalau tidak salah, rumahnya di sana, Mbak,” kata pria itu sambil menunjuk jalan aspal di depan rumahnya. Ia menjelaskan rumah itu sambil menggerakkan tangannya. Arimbi manggut-manggut sebentar lalu bergegas meninggalkan toko galon.