Rapor Merah Politik Dinasti Hasan-Tantri

2045

Daftar Kepala Daerah Terjerat Korupsi Bertambah

Di sisi lain, penangkapan Bupati Probolinggo oleh KPK pekan lalu tidak hanya menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat kasus ‘maling uang rakyat’ bertambah. Tetapi, sekaligus menjadikan Jawa Timur sebagai provinsi dengan jumlah kasus tertinggi.

Catatan Malang Corruption Watch (MCW) selama kurun waktu 2017-2021, terdapat 14 Kepala Daerah yang dijerat oleh KPK. Yakni, Bambang Irianto (Wali Kota Madiun), Ahmad Syafii (Bupati Pamekasan).

Kemudian, Eddy Rumpoko (Wali Kota Batu), Mas’ud Yunus (Wali Kota Mojokerto), Nyono Suharli Wihandoko (Bupati Jombang), Mustafa Kamal Pasa (Bupati Mojokerto), Taufiqurrahman (Bupati Nganjuk).

Moh. Anton (Wali Kota Malang), Syahri Mulyo (Bupati Tulungagung), M. Samanhudi Anwar (Wali Kota Blitar), Setiyono (Wali Kota Pasuruan), dan Rendra Kresna (Bupati Malang). Lalu, Saiful Illah (Bupati Sidoarjo), dan Puput Tantriana Sari (Bupati Probolinggo).

Baca Juga :   Pemkab Probolinggo Buka 399 Formasi CPNS, Ini Rincian Lengkapnya
Tren pengangguran Kabupaten Probolinggo tahun 2020 yang meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding 10 tahun lalu. Sumber: BPS.

MCW menilai, meningkatnya tren ‘perampokan’ uang rakyat oleh para kepala daerah menunjukkan kegagalan desentralisasi dalam menjawab problem ketimpangan dan memperkecil potensi korupsi di daerah.

“Yang terjadi justru sejumlah kasus di atas memperlihatkan otonomi daerah tak lebih sekedar arena baru perampokan uang rakyat,” terang Raymond Tobing, kepala Unit Monitoring dan Investigasi MCW.

Buah dari Politik Dinasti

OTT Pasutri Anggota DPR RI, Hasan Aminuddin (HA) – Bupati Puput Tantriana Sari (PTS) dinilai MCW tak lepas dari praktik politik dinasti yang dibangun selama ini.

“Berkuasa selama 18 tahun merupakan waktu yang cukup panjang untuk menimbun kekayaan melalui pembajakan sumberdaya publik,” terang Raymond. Praktik tersebut yang pada akhirnya melahirkan kekuasaan yang begitu dominan hingga pemerintahan tak berjalan efektif.

Baca Juga :   Ini Kronologi dan Nama-nama di Pusaran Suap Wali Kota Setiyono

Raymond mengungkapkan, adanya permintaan duit, Rp20 juta ditambah upeti Rp 5 juta per hektar tanah kas desa (TKD) ‘hanya’ untuk setiap calon Pj Kades adalah contoh paling kecil. “Dan ini benar-benar keterlaluan.”

Menurut Raymond, penarikan upeti TKD merupakan bentuk perampokan hak masyarakat desa. Sebab, dalam strukturnya, TKD merupakan salah satu sumber pendapatan asli desa. Sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Tanah Kas Desa.

Pada Ketentuan Umum Pasal1 ayat 26 disebutkan, Tanah Desa adalah tanah yang dikuasai dan atau dimiliki oleh Pemerintah Desa sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa dan/atau untuk kepentingan sosial.

Pada Pasal 4 Ayat 3 menyebut Aset desa yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, berupa tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik desa.

Baca Juga :   Rawan Laka, Warga Tambal Jalan Berlubang di Mayangan dengan Sabut Kelapa

“Dengan demikian, Tanah Kas Desa seharusnya dikuasai dan dikelola sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat desa. Bukan malah menjadi objek dagang jabatan,” tegas Raymond.

Dalam kesempatan itu MCW juga mendesak KPK melakukan penelusuran kembali laporan penggunaan anggaran daerah. Sebab, beberapa di antaranya sempat menjadi temuan BPK hingga berpotensi menimbulkan kerugian negara.

MCW menyebut, beberapa temuan itu diantaranya menyangkut realisasi Belanja Barang dan Jasa Pemkab Probolinggo TA 2016 sebesar Rp1,107 M tidak didukung dengan bukti yang cukup dan memadai.