Para Tionghoa dan Usahanya Membangun Pendidikan Pertama di Pasuruan (2-Habis)

3089

 

Agresi Jepang pada 1942 memaksa kaum Tionghoa Kota Pasuruan bersiasat agar kegiatan pendidikan bisa terus berjalan. Tetapi, gejolak politik pada 1966 membuat lembaga pendidikan tersebut tak lagi punya cerita. 

Oleh: Amal Taufik

TAHUN 1942, tentara Jepang mulai masuk ke Pasuruan. Tak hanya merebut sekolah Tionghoa pertama di Pasuruan (sekarang SMAN I)  sebagai lokasi propaganda, sejumlah tokoh Tionghoa juga ditangkap.

Jepang kemudian memperkenalkan pendidikan baru seperti Seikerei, Taisho dan Bushido serta tak lupa menanam pohon jarak mengingat sistem ekonomi perang Jepang yang dijalankan. Jepang juga membakar dan merusak alat dan bahan mengajar yang ada di sekolah.

Akibat peristiwa-peristiwa tersebut, kegiatan THHK otomatis mandek. Tapi para murid dan guru tetap berjuang, bersiasat, mencari alternatif tempat lain agar pendidikan tidak mandek.

Desa Ranggeh, Kecamatan Gondangwetan, akhirnya menjadi pilihan tempat belajar sementara yang aman. Sekolah THHK pindah ke Ranggeh diperkirakan selama 3 tahun, sebab pada tahun 1945 Jepang hengkang dari Indonesia dan sekolah THHK kembali ke tempat semula.

Baca Juga :   Cerita Para Pemburu Rezeki di Kuburan

Tahun 1951 THHK mendirikan bioskop di Kelurahan Trajeng, Kecamatan Panggungrejo, Kota Pasuruan. Bioskop itu kemudian dikenal oleh masyarakat dengan nama Bioskop Kumala. Pendirian Bioskop Kumala ini, kata Yuwono, bertujuan untuk membantu pembangunan dan operasional sekolah. “Selain bioskop, di situ juga ada gedung pernikahan,” imbuh Yuwono.

Yuwono sendiri mulai sekolah di sekolah THHK pada tahun 1949. Ia bersekolah di sana mulai taman kanak-kanak sampai SMP. Taman kanak-kanak sekolah THHK sendiri saat itu lokasinya di Jalan Balaikota. Sementara SD sampai SMP di Jalan Soekarno Hatta.

Di sekolah itu, lanjut Yuwono, bahasa yang digunakan selama proses belajar mengajar adalah bahasa mandarin, bahasa indonesia, dan bahasa inggris. Tapi yang paling utama adalah menggunakan bahasa mandarin. Muridnya rata-rata anak-anak Tionghoa, meski ada juga beberapa warga pribumi yang bersekolah di situ.

Baca Juga :   Debit Umbulan yang Terus Menyusut dan Ancaman Krisis Akibat Perubahan Iklim

“Saat itu muridnya tidak hanya keturunan Tionghoa aja. Dulu murid non Tionghoa juga ada yang sekolah di situ dan tidak harus anak bangsawan,” ujar Yuwono.

Tercatat pada tahun 1950 sekolah memiliki 483 murid dan dalam catatan Bagus, berdasar arsip SMAN 1 Pasuruan, sepanjang tahun 1958-1959 beberapa pelajaran yang ada di sekolah itu antara lain: pendidikan agama, pendidikan jasmani, sejarah, bumi alam & falak, bahasa inggris, bahasa jerman, sastra indonesia, ilmu hayat, kimia, alam, mekanika, ukur sudut, ukur ruang, ukur melukis, kimia, mekanika, aljabar dan aritmatika.

Menurut Yuwono, sekolah THHK yang ada di Kota Pasuruan adalah setingkat SD sampai SMP. Dan jika murid-murid ingin melanjutkan ke jenjang SMA, biasanya akan melanjutkan ke Malang.

Baca Juga :   Menyambangi Museum Pasuruan; Sebuah Kritik

Yuwono melanjutkan, pada sekitar tahun 1958 pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang melarang warga yang sudah berstatus WNI mengenyam pendidikan di sekolah Tionghoa. Sehingga ada sebagian murid-murid sekolah Tionghoa yang berstatus WNI keluar dari sekolah.

Mereka ini kemudian pindah di gedung Yayasan Pendidikan Pancasila, bekas rumah Han Hoo Tong. Dengan demikian, ada 2 sekolah Tionghoa di Kota Pasuruan. Pertama sekolah Tionghoa THHK di gedung SMAN 1 Pasuruan, dan kedua, sekolah di gedung Yayasan Pendidikan Pancasila.

Sekolah di gedung Yayasan Pendidikan Pancasila sendiri berada di bawah Departemen Pendidikan Pemerintah Indonesia dan dalam proses belajar mengajarnya mengutamakan menggunakan bahasa indonesia.

“Tapi pada tahun 1961 pemerintah membolehkan kembali warga Tionghoa yang berstatus WNI kembali ke sekolah THHK,” tutur Yuwono.