Ichwan Kusuma, Sarjana Pertanian yang Kelola Sawah Ala Pabrik (1)

2249

“Panen pertama waktu itu berhasil, cuman harganya pas anjlok, jadi rugi besar. Sempat putus asa… ternyata jadi petani itu berat,” kata Ichwan.

Hari mulai sore, matahari juga mulai berkemas bersiap pulang ke paraduan. Hembusan angin menyentuh lembut hamparan hijau sawah. Ichwan mengajak berkeliling melihat tanaman padi menyusuri pematang kecil. Sesekali ia masuk ke lumpur mengecek setangka tanaman yang masih berusia sekitar sebulan. Ia juga antusias menunjukan hamparan tanaman padi di patak lainnya yang siap panen.

“Orang tua saya meminta saya fokus ke pertanian. Mungkin beliau berharap, ilmu saya bisa berguna untuk mengembangkan pertanian keluarga,” kata Ichwan.

Permintaan orang tuanya dirasakan bak oase di gurun tandus. Ia menjadi semakin yakin untuk terjun total mengurus sawah karena mendapat dukungan dari orang tua. Tanpa berpikir panjang, ia meninggalkan perusahaan outsorcingnya dan memulai ‘hidup’ baru. Ia mendapat kekuatan untuk melawan katakutan akan sinisme masyarakat.

Baca Juga :   Imbas Penundaan DAU, Pemkot Pasuruan Percepat Serapan Anggaran

Awalnya, seperti petani kebanyakan, ia bertani dengan cara yang dilakukan para petani pada umumnya. Namun lambat laun, ia mulai menerapkan menajemen modern dalam pengelolaan pertanian.

Ia memberikan analisa bahwa karakter petani rata-rata nrimo ing pandum. Mereka menanam, membeli pupuk, merawat, dan menjual hasil panen. Mereka senang saat untung dan mengeluh saat merugi tanpa tergerak melakukan perubahan.

“Tidak jauh-jauh orang tua saya juga begitu. Karena itu saya terpacu menerapkan manajemen modern. Pertanian harus dikelola seperti mengelola perusahaan. Saya terapkan itu, saya mulai pada diri saya sendiri. Kalau nanti berhasil, saya yakin banyak yang mengikuti.,” kata dia.

Berbekal lahan sawah 4 hektar milik keluarga, ia memulai fokus menggarap sawah dengan menejemen yang ia kuasai. “Sebenarnya kalau dikatakan manajemen modren yang nggak juga. Saya hanya menerapkan pencatatan secara rinci pada setiap pengeluaran, jenis-jenis pupuk dan model-model perawatan,” kata Ichwan.

Baca Juga :   Warga Ramai Datangi Lokasi Penangkapan Terduga Teroris di Perum Pucang Indah

Pencatatan secara rinci setiap pengeluaran diperlukan agar dia bisa mengetahui berapa total pengeluaran untuk produksi. Sehingga saat panen bisa diketahui untung atau rugi. Menurut dia, pencatatan itu sangat jarang dilakukan para petani sehingga saat panen kadang mereka tidak tahu sebenarnya untung atau rugi.

“Berapa total biaya produksi per hektar dan berapa total hasil panen sehingga bisa diketahui secara jelas nilai keuntungannya,” jelasnya. Biaya produksi, ia melanjutkan, seperti pembelian benih, pupuk dan obat, biaya tenaga kerja mulai dari tanam, perawatan dan hingga waktu memanen.

Ichwan menggatakan, yang tidak kalah penting adalah pencatatan terhadap jenis pupuk dan obat-obatan yang digunakan saat ini, sehingga kalau hasilnya panen buruk bisa dijadikan pedoman untuk mengganti pupuk dan obat-obatan. “Model pemupukan, berapa kali penyemprotan semua harus dicatat sehingga bisa dijadikan perbandingan di saat musim tanam,” terangnya.

Baca Juga :   Ditabrak Mobil Boks dan Terlindas Truk, 2 Orang Berboncengan Motor Dilaporkan Kritis

Menurut dia, sebenarnya tidak sulit untuk melakukan pencatatan seperti yang dia lakukan. Namun sangat jarang petani yang mau atau mungkin tidak terpikirkan untuk melakukannya.

Hasil nyata dari manajemen yang ia terapkan baru diketahui beberapa kali masa panen. Rata-rata, ia mampu memanen padi sebanyak 8 ton per hektar. Jika harga tingga seperti saat ini, ia bisa mengantongi uang Rp 36 juta per hektar sekali panen. Dalam setahun, ia panen sebanyak tiga kali. (Tabloid WartaBromo; Edisi September 2015)