Jamaah LGBT

1037

”Apa benar, apa bukan hanya karena kita mbelenger melakukan pelanggaran seksual dengan lawan jenis lalu ingin mencari sensasi petualangan yang lebih menantang? Apa bukan karena nurani kita sudah terlalu kerontang lalu mencari pelepasan? Apa bukan karena anak-anak kita terlalu cepat puber, sembrono mempergunakan perangkat kelamin, lalu bosan dan mencoba hal baru? Apa bukan karena anak-anak kita mengalami patah hati terlalu dini lalu membenci lawan jenisnya? Apa bukan karena kita materialistis sehingga hubungan asmara yang wajar membutuhkan biaya begitu besar? Apa bukan karena pertalian asmara anak-anak kita hanya berdasarkan kesamaan kasta motor yang dikendarainya?”

”Itu analisa tak berdasar, cak. Kalau memang benar begitu, kurang apa orang Belanda?. Uang, pendidikan, kebudayaan, keteraturan hukum. Dan hubungan semacam itu, di Belanda baik-baik saja, kok.” Mas Bambang yakin.

Baca Juga :   Janji Mediasi Buruh dan Manajemen Indolakto, Disnaker Tak Datang

”Disini bukan Belanda, mas. Sejak zaman Majapahit penyimpangan orientasi seksual sudah dianggap ilegal. Maaf, perzinahan antar jenis saja dihukum penggal.”

”Dan lagi, kalau adopsi dilarang, mereka bisa memelihara anjing” ujar Mas Bambang mengembalikan tema.

”Inna lillahi!” Cak Manap kaget tak alang kepalang. Ustadz Karimun gemetar.

”Bencana apalagi ini?” tanya Cak Mukri merasa memang karena ide Mas Bambang memang aneh.

”Nuwun sewu, mungkin begini,….” kata Firman tiba-tiba.

”Saya pribadi memang tak berani menghakimi siapa pun karena ini negara demokrasi dan HAM sudah dijunjung tinggi oleh konstitusi. Teman-teman LGBT juga punya dasar hukum untuk mendapatkan pengakuan negara atas pernikahan mereka. Namun, bukankah demokrasi sendiri juga juga mengajarkan kalau kepentingan minoritas harus legawa terhadap kepentingan mayoritas? Hasil voting yang sedikit harus mengalah kepada hasil voting yang banyak, bukan?”

Baca Juga :   Mak Yati Menunggu Janji Naik Haji

”Itu diskriminasi golongan mayoritas atas minoritas namanya.” Mas Bambang terprovokasi.

”Lho, saat kita SD, kalau memilih ketua kelas kan begitu?”

”Ini hak azasi, hanya Tuhan yang boleh melarangnya” Mas Bambang sudah menyalahi undang-undang parlemen warung kopi pinggil kali : memaksakan pendapat dan terprovokasi saat bersidang, eh berdebat kusir.

”Bagaimana kalau Tuhan yang melarang praktek LGBT?”

”Negera kita sekuler, kok?” Mas Bambang ngotot. Ustadz Karimun jatuh dari lincak warung. Pingsan! (Abdur Rozaq)