Karangan Bunga untuk Sang Begal

1494
Ilustrasi: Gesang A Subagyo

Miris, beberapa hari terahir banyak terjadi musibah menimpa umat Islam, khususnya di kota ini. Beberapa orang dari umat Islam mencoba mengambil hak saudaranya sendiri yang berupa sepeda motor, kalung, gelang atau tas berisi uang. Bahasa jalanannya membegal dan menjambret.

Karena agama mengajarkan jika hak milik wajib dijaga dan dibela—bahkan dengan nyawa—, maka pemilik barang-barang itu melawan, atau setidaknya meminta tolong kepada saudaranya yang juga beragama Islam. Pada ahirnya, saudara muslim yang mengambil hak saudaranya itu ditangkap, dianiaya bahkan diantarkan ke hadirat Allah, oleh saudaranya sendiri yang juga beragama Islam. Itu terjadi pada bulan paling sorgawi, saat mereka sedang menjalankan ibadah paling lezat dan konon semua tragedi itu demi biaya merayakan Idul Fitri yang meruapakan puncak kemenangan paling membahagiakan.

Ramadhan mengajarkan agar setiap muslim bertindak sehati-hati mungkin daripada bulan-bulan lainnya. Ramadhan begitu ketat mengawasi segenap gerik-gerik paling samar dari setiap bagian diri setiap muslim, bahkan gerak hati dan pikiran. Ramadhan adalah durasi istimewa untuk bermesra dengan Tuhan dan sesama mahluk, namun kini terlanjur tercederai. Ramadhan yang kudus bersimbah amarah, dendam bahkan darah suci seorang yang percaya terhadap Allah sebagai Tuhan.

Baca Juga :   Ansor Kabupaten Pasuruan Larang Kadernya Ikut Demo 2 Desember

Dalam beberapa terahir dendam menemukan sasarannya. Memporak porandakan humanisme dan kesejatian cinta yang harusnya memuncak saat Idul Fitri kelak. Belum sempat pesta pemaafan dilangsungkan, dendam kembali mengkoyak cakrawala cinta universal dalam bingkai iman. Salah siapa?

Seorang ibu telah kehilangan anaknya dengan cara yang memilukan. Berangkat pagi entah kemana, selepas berbuka ia mendengar anaknya telah dimikrajkan ke hadirat Tuhan. Dengan jasad yang hampir tak bisa dikenali, dengan luka menganga di sana-sini, dengan luka bakar, sayatan, bahkan tulang-tulang terlepas dari kulit dan daging. Ibu itu, tak pernah mengajarkan agar anaknya mengambil alih harta saudaranya sendiri dengan cara yang kurang santun begitu.

Seorang bapak telah kehilangan anak laki-laki kebanggan yang ia besarkan dengan peluh dan airmata. Dirampas angkara murka dendam, yang entah siapa sebenarnya penyulutnya itu.

Baca Juga :   Petahana Tidak Masuk Radar 'Pencalonan' Gerindra di Pilkada Pasuruan 2018

Seorang istri tiba-tiba menjadi janda dan anak-anaknya menjadi yatim justru ketika sebentar lagi wangi pesta Idul Fitri dilangsungkan. Seorang teman kehilangan sahabatnya, seorang paman serta bibi kehilangan keponakannya bahkan kita sendiri, kehilangan keluarga seiman. Salah siapa?

“Tragedi-tragedi itu, adalah dosa Bapak Adipati yang tak bisa mensejahterakan rakyatnya” gumam Gus Hafidz seraya melepas kacamata baca dan meletakkan koran di meja.

“Istighfar, abah. Puasa tak boleh su’udhon” sergah istrinya, Ning Maryam.

“Ini bukan su’udhon, umi. Bapak Adipati yang belum juga berbuat banyak dalam rangka mensejahterakan rakyat, membuka lapangan kerja atau paling tidak memberi modal kerja dan keahlian.”

“Tidak, abah.  Bapak Adipati bukanlah Super Man yang bisa mengubah dunia dalam sekejap.” Tukas Ning Maryam.

Baca Juga :   MOU dengan Polresta Belum Seminggu, Ada Tahanan Kabur

“Lha kalau jelas-jelas tidak sanggup dibebani problematika rakyat, kenapa dulu mencalonkan diri?” Gus Hafidz lalu membaca istighfar beberapa kali.

“Tapi, segala hal memang seringkali ada musababnya. Tuhan –biasanya—menciptakan suatu perkara dengan didahului oleh musabab “agar” kehidupan berjalan alami.” Ujar Gus Hafidz hati-hati.

“Saudara-saudara kita yang barang serta haknya dirampas itu, mungkin belum rajin membuang limbah karunia dan rejeki Tuhan –zakat-sedekah—, sehingga saudara kita yang lain terpaksa harus mengambilnya. Sedangkan saudara-saudara kita yang binasa itu, karena menabrak rambu-rambu syariat—mengambil hak orang lain—mendapat teguran langsung karena Tuhan begitu menyayanginya jika harus dihukum di ahirat kelak. Dan, saudara-saudara kita yang menghukum hingga saudaranya sendiri menghadap Tuhan, mungkin bermaksud menegakkan norma, namun dengan cara yang agak gegabah. Siapa yang salah? Jika dirunut dengan dialektika kasih sayang Tuhan, bisa-bisa semuanya benar. Sebab tak ada selembar daun pun yang jatuh kecuali atas kehendak-Nya.”