Zohri Sebentar Lagi

1355

“Pelari itu ternyata seperti pembalap: lebih banyak berlomba dengan diri sendiri.”

 

Oleh : Dahlan Iskan

Rekor nasional: 10,17 detik.
Moh Zohri: 10.18 detik.
Berarti Zohri perlu lebih cepat 0,01 detik lagi. Untuk bisa menyamai kecepatan Suryo Agung Wibowo. Pemegang rekor nasional asal Solo itu.

Tapi Zohri sudah sangat hebat. Juara dunia lari 100 meter. Di Tampere, Finlandia. Tanggal 11 Juli barusan. Untuk kategori umur di bawah 20 tahun.

Video Zohri pun viral. Dengan cepat. Ke seluruh negeri. Anak miskin dari Lombok, NTB, ini top. Berhasil mencuri perhatian. Di tengah heboh piala dunia sepakbola.

”Saya mencapai rekor 10,17 saat umur saya 26 tahun,” ujar Suryo Agung Wibowo kepada Suhendrik yang saya tugasi untuk disway.

Suhendrik adalah wartawan olahraga Bandung Ekspres. Yang kenal Suryo. Saat Suryo sudah pindah jalur: dari lari ke sepakbola. Bermain sebagai penyerang untuk klub Persikab Bandung. Tahun 2014.

Baca Juga :   UNICEF dan Dinkes Jatim Monitoring Difteri Kota Probolinggo

Suryo kini berumur 34 tahun. Tempat tinggal: Bintaro, Tangerang Selatan. Anak: dua orang. Pekerjaan: staf di Kemenpora.

”Sebelum Zohri berangkat ke Finlandia saya sempat bertemu. Saya banyak bicara dengan ia,” kata Suryo.

Nasehat utama yang diberikan Suryo ke Zohri: konsentrasi pada diri sendiri. Jangan pedulikan sekitar. Jangan pedulikan pelari lain. Jangan pedulikan omongan orang.

Pelari itu ternyata seperti pembalap: lebih banyak berlomba dengan diri sendiri.

Rekor nasional Suryo itu belum ada yang memecahkan. Sampai sekarang. Padahal Suryo mencapai 10,17 detik itu di tahun 2009. Hampir sepuluh tahun. Baru anak Lombok ini yang berhasil mendekatinya.

”Saya yakin Zohri akan mengalahkan saya. Dalam waktu dekat,” kata Suryo.

Zohri kini baru berumur 18 tahun. Tapi tinggi badannya sudah menyamai Suryo: 170 cm. Tentu Zohri masih bisa tumbuh. Bisa 172-175 di puncak pertumbuhannya nanti.

”Dengan tungkai yang lebih panjang Zohri akan mencapai jarak lebih jauh dari langkah saya,” ujar Suryo. Tinggal tehnik larinya. Dan latihannya. Dan gizinya. Dan mental juaranya.

Baca Juga :   Harga Sapi di Probolinggo Naik Hingga Rp2 Juta Per Ekor

Itulah sebabnya Pemda NTB memberikan tempat tinggal. Di asrama atlet di Mataram. Agar bisa terus latihan lari yang benar.

Zohri sudah jarang pulang ke desanya. Yang miskin itu. Ibu-bapaknya sudah meninggal. Di rumah tidak ada orang lagi. Dua kakaknya sudah berkeluarga. Sudah punya rumah masing-masing.

Kedua kakaknya itu juga sudah bekerja: di pulau Gili Trawangan. Di daerah wisata terkenal itu. Di seberang pantai Senggigi.

Dari hasil kerjanya itu kedua kakak Zohri punya kehidupan lebih baik. Bisa membangun rumah masing-masing. Persis di sebelah rumah orang tua mereka.

Tinggal Zohri yang mewarisi rumah itu: sebuah rumah yang dindingnya anyaman bambu. Bolong-bolong. Nyaris reot. Di rumah itulah Zohri lahir, tumbuh dan menjadi remaja.

Danrem Lombok sudah meninjau rumah itu. Sudah akan merehabnya. Dan, kalau Zohri setuju, boleh masuk TNI. Tanpa tes. Serta tetap bisa terus jadi atlet lari.

Baca Juga :   Polresta Pasuruan Ungkap Jaringan Pengedar Upal di Jawa Timur

Suharli, wartawan olahraga Lombok Pos yang saya minta mewawancarai beberapa pihak di NTB sudah dua kali ke rumah Zohri. Arahnya: kita ke Senggigi dulu. Terus ke utara. Sekitar 40 menit. Dengan sepeda motor. Ketemulah desa Pemenang.

Di desa itulah Zohri sekolah. Ternyata selama di SD belum kelihatan bakat lari Zohri. Ia tidak suka atletik.

Tamat SD Zohri masuk SMP. Di desa yang sama. Sampai kelas dua pun belum tampak: minatnya pada atletik.

Baru di kelas 3, Bu Rosida, guru olahraga di SMPN 1 Pemenang ‘menemukannya’. Alumni IKIP Mataram ini kadang sabar. Kadang juga keras. Dalam menghadapi Zohri.

Awalnya, kata Bu Rosida, Zohri itu menjengkelkan. Ia tidak mau ikut pelajaran olahraga: karena pakai aturan-aturan. Sesuai dengan proses di kurikulum olahraga.