Sistem SKS: Antara Ambisi dan Realita

3556

Menyoal tentang pengembangan bakat dan minat selama belajar di sekolah lanjutan, sebanyak 82% siswa menyatakan, bahwa sistem SKS membuat mereka kurang berkembang dalam menyalurkan bakat dan minatnya dengan terkendala waktu. Bahkan 51% siswa menyatakan pihak sekolah terkesan kurang peduli dengan kegiatan ekskul di sekolah.

Hal ini berkaitan dengan pendanaan ketika melakukan kegiatan lomba yang harus ditanggung sendiri oleh siswa dan orang tua. Bahkan terdapat sedikit ketidakharmonisan antara siswa berprestasi di bidang non akademis dengan kebijakan sekolah yang mengunggulkan aspek akademisnya saja. Padahal berhasil tidaknya siswa di masa depan tentu tidak lepas dari kemampuan bakat dan minat mereka yang dapat dikembangkan di bangku sekolah. Halaman Selanjutnya …

Hasil survey tersebut tentu bukannya cermin realita nasional. Tapi setidaknya secuil realita di lapangan tersebut mendapatkan perhatian untuk menciptakan sistem pendidikan yang baik. Suara guru sebagai ujung tombak praktisi dan pejuang di lapangan sudah selayaknya di apresiasi dengan bijak.

Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi memuat pengembangan diri dalam struktur kurikulum, dibimbing oleh konselor, dan guru/tenaga kependidikan yang disebut pembina. Sudah sangat jelas perlu adanya keseimbangan dalam mengawal kemampuan non akademis siswa, yang berupa pengembangan diri dengan baik. Pembinaan ekstra kurikuler di sekolah selayaknya menjadi bagian melekat yang tak boleh di-anak tirikan karena kondisi masa belajar formal di dalam kelas yang sudah sangat menyita waktu.

Beberapa sekolah yang menerapkan lima hari kerja dapat leluasa membantu siswa untuk berkembang dengan menyediakan satu hari untuk ekskul. Sementara banyak sekolah yang tetap menerapkan enam hari kerja, dengan masa belajar sampai jam 3 sore kecuali hari Jum’at dan Sabtu yang hanya berkurang beberapa jam saja. Secara otomatis, siswa melaksanakan kegiatan pengembangan diri di hari-hari tersebut setelah pulang sekolah. Sungguh suatu budaya yang mungkin harus diterima siswa sebagai generasi milenial.

Masa SMA merupakan masa paling indah, selayaknya tetap menjadi milik masanya. Janganlah dengan dalih meningkatkan kualitas pendidikan, sistem pendidikan ini menjadi pencetak generasi robotic yang mengesampingkan aspek peningkatan secara holistik, sisi empati dan bakatnya. Walaupun sudah tertuang dengan sangat sempurna dalam kurikulum tentang segala aspek pencapaian -kognitif, psikomotor, dan afektif–, tetaplah ‘teropong’ lapangan yang harus dipercaya. Hasil kualitas pendidikan sepuluh, dua puluh tahun ke depan adalah bukti nyata produk pendidikan sebelumnya.

Ketika para guru ditanya, apakah mereka mampu melaksanakan semua ‘idealisme’ sistem SKS dengan baik dan benar? Jawabannya pasti mampu, pasti bisa, dan harus benar. Walaupun, selalu berjibaku dan berkutat dengan beban sistem yang tidak mungkin dikeluhkannya.

Mendidik, adalah juga tugas utama guru di sekolah lanjutan. Tentunya tidaklah sama persis dengan tugas para dosen. Banyak permasalahan siswa terjadi di masa pencarian jati dirinya, perlu perhatian besar dari guru. Perlu waktu dari guru untuk melayaninya, mendampinginya, mencurahkan perhatian untuk mereka. Artinya, tidak hanya melayani sisi akademisnya saja. Tidak hanya diwujudkan dalam bentuk pendidikan karakter yang secara administratif tertuang pada rencana pelaksanaan pembelajaran, yang realitanya minim praktik, karena guru berkejaran dengan tugas dan tuntutan administratif lainnya.

Empat kompetensi guru yang harus dimiliki -pedagogig, profesional, kepribadian, dan sosial– sudahlah cukup menyita waktu untuk dikembangkan, terutama apabila berkenaan dengan syarat kenaikan pangkat. Haruskah siswa menjadi korban lagi karena ‘kurang mampu’ mengolah management waktunya?.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.