Investigasi: Celah Curang Jaminan Kesehatan

2303

Adalah Khita, 35, putri sang pasien yang menceritakan pengalaman kurang mengenakkan itu. Soal praktik tebus obat, pun demikian. Menjelang pulang, ia diberi resep untuk ditebus ke apotek rumah sakit. “Saya kira itu untuk dibawa pulang. Ternyata tidak, karena obat itu diserahkan ke bagian administrasi,” jelas Khita.

Ia tak mengerti untuk apa obat tersebut akan dipergunakan. Yang pasti, dari penuturan petugas, dikatakan bila obat tersebut untuk mengganti obat yang ia pakai saat menjalani perawatan sebelumnya.

Dalam kesempatan itu, Khita juga mengkritik kebijakan rumah sakit yang dinilai kurang terbuka. Soal berkas layanan apa saja yang telah dipakai pasien, menurut dia, para pasien tidak mendapat tembusan. Berikut besaran biaya atas layanan yang telah diterima. Padahal, menurut dia, keterbukaan itu penting untuk menutup celah rumah sakit memainkan besaran klaim.

“Kami tidak pernah tahu. Misalnya, habisnya berapa, layanannya apa saja, kami tidak tahu. Padahal, dokumen itu yang menjadi dasar pengajuan rumah sakit mengajukan klaim ke BPJS. Karena pasien tidak diberi tahu, bisa saja rumah sakit memainkan besaran jasa layanan itu,” terang Khita.

Untuk mencari kejelasan, WartaBromo sempat berusaha meminta berkas pengajuan klaim oleh rumah sakit atas nama pasien dimaksud kepada pihak BPJS. Namun, pihak BPJS menolak dengan alasan dokumen tersebut hanya bisa ditunjukkan ke auditor. Padahal, pembukaan dokumen itu menjadi kunci untuk mengkroscek kesesuaian layanan dengan klaim yang diajukan.

Awalnya Tindakan Fraud

Masalah antara pasien, faskes dan BPJS ini seperti benang kusut yang berada dalam rumah program Jaminan Kesehatan Nasional. Adanya biaya tambahan, penebusan resep atau pembelian obat tanpa kuitansi, adalah pola kecurangan yang kerap muncul. ke halaman 3

Divisi Hukum dan Peradilan ICW Alamsyah mengungkapkan, ada dua modus potensi fraud yang banyak dilakukan. Yakni, doble klaim dan markup klaim. Relawan-relawan yang menjadi jejaring ICW menyebutnya hal itu sebagai praktik lumrah.

“Itu juga kita temukan di hasil pemantauan yang kami lakukan. Pertanyaannya, siapa yang menjadi aktor dalam konteks kasus tersebut?” katanya sembari bertanya.

Modus yang ditemukan ICW adalah dengan memulangkan pasien lebih cepat sekalipun kondisi kesehatannya belum sempurna. Yang kedua, dengan memasukkan obat-obatan yang tidak perlu.

Salah satu mantan pegawai RSUD Purut, Kota Pasuruan mengakui adanya praktik manipulasi data klaim kepada BPJS. Namun, menurutnya, hal itu sebagai hak rumah sakit sepanjang tidak melebihi tarif sebagaimana yang diatur dalam INA-CBGs. “Ya, karena kontrak tarif yang diatur BPJS itu kan glondongan,” katanya.

Ia bilang, praktik manipulasi dalam bentuk mark-up klaim dalam konteks ini bukan untuk meraih keuntungan pribadi. Tapi, demi mencukupi kebutuhan operasional rumah sakit itu sendiri. Alasannya, rumah sakit kerap kesulitan karena plafon dari BPJS yang dinilai terlalu kecil.

Humas RSUD dr. Sudarsono Kota Pasuruan, Lusi juga sedikit menyinggung perihal sistem jaminan pembiayaan oleh BPJS. Diketahuinya, bahwa plafon pembiayaan diatur dalam dokumen INA-CBGs, yaitu batas biaya didasarkan pada diagnose dan jenis layanan masing-masing penyakit. Karena itu, menurut Lusi, untuk biaya setiap penyakit berbeda-beda.

Dalam praktiknya, menurut penuturan Lusi, ada pasien yang membutuhkan perawatan lebih yang pada akhirnya melebihi dari plafon BPJS. Namun, ada juga yang tidak sampai. Nah, pada saat inilah rumah sakit bisa mendapat untung dari selisih biaya operasional pasien dengan plafon BPJS.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.