Bunuh Diri Meningkat! Mari Bersama Mencegahnya

4394
Angka bunuh diri di Pasuruan cukup memprihatinkan. Dalam setahun terakhir, grafiknya meningkat tajam hingga hampir lipat dua. Bagaimana mencegahnya?

Laporan M. Asad

TAK berselang lama, kegaduhan itu kembali terjadi. Di sebuah desa yang sama, di Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan. Seorang bocah ditemukan tewas diduga karena bunuh diri. Warga setempat pun geger. Apalagi, peristiwa itu merupakan kali kedua dalam setahun terakhir setelah sebelumnya dialami mantan kepala desa setempat.

Dua peristiwa itu melangkapi catatan kasus bunuh diri yang terjadi di Pasuruan dalam setahun terakhir. Peristiwa bunuh diri yang terjadi di Nguling mengawali catatan kasus bunuh diri pada Januari 2019 silam. Disusul Maret di Pandaan; dan April di Kecamatan Beji.

Aksi bunuh diri yang dilakukan seorang ibu dengan mengajak serta anaknya di Sukorejo pada Mei menambah daftar panjang kasus memilukan itu. Sebelum akhirnya ditutup dua kasus serupa di Kecamatan Tutur dan Pandaan, pada September dan November 2019 lalu.

Baca Juga :   Tahun 2019, Hanya 10 Nelayan Ajukan Asuransi Mandiri

Secara keseluruhan, berdasar data yang terekam dari media, sepanjang 2019 ini, tercatat 7 kasus bunuh diri terjadi di Kabupaten Pasuruan. Angka yang cukup tinggi dibanding catatan kejadian tahun lalu. Dengan metode yang sama, pada 2018, peristiwa bunuh diri yang terjadi hanya terdapat 4 kasus.

Angka yang sebenarnya bisa saja lebih dari itu. Pasalnya, tidak semua kejadian bunuh diri masuk dalam pemberitaan media atau dilaporkan ke kepolisian. Dengan kata lain, sangat mungkin kasus bunuh diri yang terjadi lebih banyak dari itu. Apalagi, Jawa Timur termasuk provinsi kedua dengan tingkat bunuh diri tertinggi di Indonesia setelah Jawa Tengah.

Belakangan, kasus bunuh diri memang menjadi perhatian banyak pihak lantaran angkanya yang cukup tinggi.

Baca Juga :   Foto-foto Sisa Erupsi Semeru yang Tampak Dramatis

Merujuk laporan lembaga kesehatan dunia, WHO (World Health Organization) yang dipublikasikan September 2019 lalu, jumlah kematian akibat bunuh diri mencapai 800.000 orang.
Saking tingginya, ia menempati urutan kedua dalam daftar penyebab kematian untuk golongan usia 15-29 tahun. Dan, 79 persen di antaranya terjadi di negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah.

Nah, Indonesia sendiri menempati urutan ke 103 dari 183 negara di dunia dalam kasus bunuh diri tertinggi.
Khusus di Indonesia, sejauh ini belum terdapat data pasti berapa jumlah kematian akibat bunuh diri itu.

Akan tetapi, hasil Sampel Registration System (SRS) Balitbangkes Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, angkanya diperkirakan mencapai 1.800 orang setiap tahunnya (Infodatin Kemenkes 2019).

Kematian akibat bunuh diri paling banyak terjadi pada usia produktif. Yakni, sebesar 46 persen untuk rentang usia 25-49 tahun. Dan, 75 persen pada rentang usia 15 hingga 69 tahun.

Baca Juga :   Nelayan Lekok Ditemukan Meninggal Dunia di Bibir Pantai

Dr. Sandersan Onie, ahli psikologi mengatakan dari berbagai riset yang dilakukan, ada dua faktor yang turut berkontribusi menyebabkan seseorang bunuh diri.
Dikatakannya, suicidality atau keinginan bunuh diri dapat disebabkan oleh depresi, stress, atau bahkan penggunaan Narkoba. Kedua, karena tersedianya sarana metode bunuh diri.

“Sebagian dari kita, tidak memahami bagaimana mencari saluran ketika sedang stress atau depresi. Banyak yang ketika mengalami depresi, justru menganggapnya sebagai sesuatu yang harus diterima. Bukan sebagai gejala mental illness yang bisa diobati,” kata peraih doktor dari Universitas New South Wales, Australia ini.

Dikatakan Sandy, hal itu terjadi karena minimnya pemahaman bagaimana menangani stress. Dalam banyak kasus, ketika seseorang tengah dalam kondisi stress atau bahkan depresi, yang bersangkutan ogah bercerita lantaran khawatir dianggap lemah.