Namun di sisi lain masih ada perempuan eks ISIS yang teguh memegang ideologi ISIS. Di bawah puing-puing reruntuhan ISIS, keyakinan ideologi ISIS mereka tak tergoyahkan. Bahkan mereka meyakini jika ISIS tak pernah kalah dan akan bangkit kembali. Mereka terus mensyiarkan ide-ide kelompok ISIS.
Di kamp Al Hol, pengikut ISIS golongan kedua ini memaksakan kelas-kelas agama kepada mereka yang tinggal di pengungsian. Mereka mendirikan pengadilan syariah secara sembunyi-sembunyi, dan menegaskan dominasi mereka kepada pengungsi lainnya. Pengungsi lain yang tak mau mematuhi aturan yang mereka buat akan menghadapi hukuman berat, seperti kematian. ke halaman 2
Bahkan beberapa wanita ini telah menyerang penjaga yaitu pasukan SDF dengan menggunakan pisau dan palu. Dan, mereka yang bergabung dengan kelompok ini sudah pasti tidak mau pulang kembali ke negaranya, termasuk jika itu adalah warga negara Indonesia.
Jemput atau Tinggalkan
Lalu baiknya kita jemput mereka atau tinggalkan saja WNI eks ISIS ini?
Karena WNI eks ISIS yang kini berada di beberapa penampungan di Suriah ini meninggalkan Indonesia dengan suka rela atas keinginan mereka sendiri, sebenarnya tak ada kewajiban bagi Pemerintah untuk menjemput mereka pulang. Jadi sah-sah saja sebenarnya bila Pemerintah tak menjemput dan membiarkan mereka menelan sendiri kepahitan atas perbuatan mereka.
Bila diputuskan untuk meninggalkan WNI eks ISIS, maka pemerintah tak perlu melakukan apa-apa, cukup hanya mengucapkan “Selamat Tinggal”. Namun, jangan harap “anak-anak nakal” yang sebelumnya minggat ini tak akan pulang dengan sendirinya ke Indonesia. Dan jika itu yang terjadi maka akan sangat berbahaya.
Mereka yang sudah tercatat dan diketahui kepulangannya (deportan) saja masih berbahaya apa lagi yang tak diketahui kepulangannya ke Indonesia (returnee) . Salah satu contoh deportan yang melakukan aksi terornya adalah Pasutri Indonesia yang melancarkan serangan bom bunuh diri di Gereja Katedral di Jolo, Filipina, pada 27 Januari 2019.
Pelakunya suami-istri bernama Rullie Rian Zeke dan Ulfah Handayani Saleh. Keduanya adalah deportan dari Turki pada Januari 2017.
Sementara itu contoh returnee yang pulang ke Indonesia tanpa diketahui pemerintah adalah Syawaluddin Pakpahan. Pria asal Medan ini ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok bersenjata pada 2013. Pada tahun yang sama, Syawaluddin kembali ke Indonesia. Empat tahun kemudian Syawaluddin menyerang Malpoda Sumatera Utara dan menewaskan seorang polisi.
Apa bisa mereka pulang sendiri?
Sangat bisa, sebab akhir tahun lalu ratusan pengungsi di kamp Ainisa melarikan diri setelah Turki melancarkan serangan ke suku Kurdi yang menguasai wilayah itu. Nah, di kamp itu ada juga WNI eks ISIS yang tinggal di sana.
Maka keputusan untuk tak menjemput WNI eks ISIS ini pulang bukan tanpa risiko, namun juga berisiko dan berbahaya. Sebab sesampai di Indonesia mereka tak akan terdeteksi dan lolos dari pengawasan aparat.
WNI eks ISIS seperti apa yang bisa pulang?
Cara paling sederhana untuk memilah WNI eks ISIS mana yang bisa diboyong pulang ke Tanah Air, pertama dilihat dari tujuan hijrah mereka, apakah mereka “kombatan” atau “korban”? Dan yang paling kecil risikonya adalah membawa “korban” pulang.
Kedua, mereka yang tak membakar paspor mereka dengan sukarela, tapi mereka yang dipaksa atau paspornya dibakar oleh otoritas ISIS di sana. Mereka ini memiliki risiko lebih kecil bila dipulangkan, setidaknya mereka masih memiliki rasa sebagai warga negara Indonesia dengan tanpa membakar paspor mereka.