Rumah Hantu

1659

Cerpen

“Tuhan memanggil saya.. Tuhan memanggil saya.. Tuhan masih cinta kepada pendosa…”

Oleh: Amal Taufik

HARi Minggu pagi, 1 Mei 2001, kami resmi pindah ke rumah kami yang baru. Lokasinya lebih dekat dengan tempat kerja Afifah. Sebagai dokter di rumah sakit umum daerah ia harus bekerja secara shift, dan di luar shift. Seringkali ia mendapat panggilan mendadak jika rumah sakitnya kewalahan menangani pasien.
Saya cukup kerepotan mondar-mandir mengantarkannya, sementara tempat tinggal kami sebelumnya cukup jauh.

Pagi itu sementara saya dan Afifah sibuk menata letak barang-barang, Teto, anak kami, berlari-lari naik turun tangga sambil menggeret truk mainan kesayangannya. Lalu setelah puas berlari-lari di dalam, ia pindah ke taman. Di situ Teto berjingkrak dan berteriak-teriak. Sesekali tangannya iseng mencabut daun-daun tumbuhan lalu memakannya.

Malamnya, ketua RT bertamu ke rumah kami. Dari perawakannya, sepertinya ia seusia ayah saya. Namanya Sutomo. Duda pemilik toko kayu yang bercokol di depan perumahan ini. Saya menggelar karpet di teras lalu mempersilahkannya duduk. Afifah membuatkan satu teko kecil teh panas untuk kami berdua.

Baca Juga :   Perempuan di Pasuruan Ramai-ramai Gugat Cerai Suaminya

Belum lewat lima belas menit, ia sudah membuka pembicaraan dengan panjang lebar. Caranya bertutur mirip karakter dukun di film-film horor. Ia berbicara dari kehidupan pribadinya sampai cerita tentang hantu-hantu penunggu di setiap rumah. Ia hafal betul semua hantu yang bermukim di sini, mulai bentuk, perilaku, sampai struktur kekuasaan mereka.

“Raja mereka ada di rumah sampeyan ini,” katanya dengan nada berat dan sorot mata misterius.
“Dia tinggal di lantai dua,” tambahnya.

Raja para hantu itu bertubuh ular, berkepala kodok, matanya merah menyala, dan dengus nafasnya mengeluarkan bau pesing, dan bau ikan busuk.

Tadi pagi, ketika saya memindahkan kasur lipat ke lantai dua, memang saya mencium bau pesing dan ikan busuk. Saya memanggil Afifah untuk membantu saya mencari sumber bau itu di tiap sudut ruangan lantai dua. Tetapi tidak ketemu.
Saya ceritakan pengalaman itu pada Sutomo dan ia manggut-manggut.

Baca Juga :   Arimbi

“Besok-besok tiap sampeyan, istri, atau anak sampeyan naik ke lantai dua, biasakan mengucap salam lebih dulu. Yang penting selama kalian menghargai dan tidak mengusik keberadaannya, dia tidak akan mengganggu,” ujar Sutomo menasihati.

Maka setelah kunjungan Sutomo malam itu, kami selalu mengucap salam tiap naik ke lantai dua. Tetapi kebiasaan itu hanya bertahan dua minggu. Minggu-minggu selanjutnya kami sama sekali tak pernah lagi mengucap salam saat naik ke lantai dua. Bahkan lantai dua akhirnya menjadi salah satu tempat favorit saya dan Afifah saat bercinta, dan tidak pernah ada bau pesing atau ikan busuk di sana. Saya pikir semuanya baik-baik saja.

Ternyata saya keliru.
Keganjilan pertama, terjadi pada Rabu sore sepulang saya mengantar Teto kursus musik. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari kamar, seperti suara kucing mengejar tikus di atas plafon, tetapi lebih keras. Saya membuka kamar dan melihat Afifah dengan seragam dokter warna putihnya merayap di dinding, lalu naik ke langit-langit kamar mengejar cicak dan kemudian menelan buruannya itu hidup-hidup.

Baca Juga :   Perceraian di Pasuruan, 3 Kali Lebih Banyak Digugatkan Istri

Saya memanggilnya. Ia menoleh ke arah saya, lalu mendadak tubuhnya meluncur ke bawah, menghantam kasur. Afifah pingsan selama 2 jam. Dan ketika terbangun, ia membenamkan kepalanya ke dada saya, menyatakan rasa terima kasihnya, menangis tersedu-sedu sampai kaos saya basah oleh air matanya, dan meminta saya untuk tetap mencintainya apapun yang terjadi.

Keganjilan selanjutnya terjadi pada tengah malam ketika saya terbangun dan menyadari Afifah tidak ada di kasur. Saya segera menyusuri seisi rumah. Saya mencarinya di kamar mandi, tidak ada. Di kamar Teto, tidak ada. Di gudang, tidak ada. Di dapur, tidak ada.