Rumah Hantu

1660

Akhirnya saya coba mengintip halaman dari jendela. Betul, Afifah ada di halaman. Tubuhnya melayang setinggi 1,5 meter dengan tangan merentang dan kepala mendongak ke atas.

Lagi-lagi ketika saya memanggilnya, tubuhnya langsung jatuh, lalu pingsan. Dan saat bangun ia melakukan hal yang sama: memeluk saya, menangis, menyatakan terima kasih, dan meminta untuk tetap mencintainya. ke halaman 2

 

Dan hari-hari setelah itu adalah hari-hari yang ruwet. Afifah menjadi sulit diajak berkomunikasi. Ketika saya mengajaknya bicara soal perkembangan Teto, ia malah menanggapi secara melenceng dengan menceritakan secara detail nasib para pendosa di neraka, seolah-olah ia pernah mengunjungi neraka.

Yang lebih menjengkelkan lagi, ia juga mengganti nama-nama benda dan hal di sekitarnya. Nasi disebutnya singkong; ayam disebutnya kucing; meja disebutnya jendela, dan lain sebagainya.

Saya sering bingung menanggapi omongannya. Semisal, ia pernah mengirim pesan yang isinya begini: ‘Mas, bisakah nanti kau membelikan kami kadal raksasa dan minyak rem?’

Baca Juga :   Perempuan di Pasuruan Ramai-ramai Gugat Cerai Suaminya

Saya butuh beberapa menit menafsirkan permintaan itu sampai saya paham kalau kadal raksasa adalah ikan gurami dan minyak rem adalah minuman soda kesukaan Teto.

Teman-teman dan tetangga menyarankan agar saya memanggil ulama atau paranormal untuk mengusir si hantu. Saya menyetujui saran mereka. Maka pada malam Jumat yang telah ditentukan, orang-orang berkumpul di rumah, membaca doa-doa pengusir hantu. Afifah duduk di dapur memandangi kami sambil sesekali terdengar ia bicara dengan benda-benda di sekitarnya.

Sutomo membawa orang berjenggot panjang yang pada saat kami membaca doa, orang itu saya lihat bersedekap dengan mata terpejam dan kepala tertunduk seperti orang tidur. Tidak lama kemudian orang itu berdiri, mengambil posisi kuda-kuda dengan mata masih terpejam, lalu ia melakukan gerakan menendang, memukul, salto, terjungkal, bangkit. Lalu memukul lagi, menendang lagi, terjungkal, bangkit lagi. Begitu terus sampai akhirnya adegan itu berhenti.
Orang itu lantas membisikkan sesuatu ke telinga Sutomo.

Baca Juga :   Arimbi

***
Kondisi Afifah makin hari makin merepotkan. Bahkan sekarang ia tidak bisa lagi mengingat siapa saya. Yang ia ingat hanya nama-nama benda di sekitarnya. Sisir ia beri nama. Kaca ia beri nama. Sikat gigi ia beri nama. Dan ia juga makin agresif. Sering marah-marah sendiri lalu membanting piring atau membenturkan kepalanya ke wastafel, atau meninju-ninju dinding.

Sebelum makin parah, saya tidak ingin Teto menyimpan ingatan kalau ibunya pernah edan dan untuk mengatasi ibunya, bapaknya melakukan sesuatu yang kurang elok ditonton. Akhirnya saya titipkan anak itu di rumah neneknya.

Barulah saat Teto sudah tidak ada di rumah, saya melakukan sesuatu yang tak pernah sekalipun terbesit di pikiran saya: mengerangkeng istri sendiri. Afifah saya kerangkeng di lantai dua. Ia tidak melawan ketika saya membebat kakinya dengan rantai besi. Ia melamun dengan tatapan kosong mengarah ke guci keramik. Saya coba mengajaknya bicara, namun ia hanya menoleh ke saya sebentar lalu kembali menatap guci keramik.

Baca Juga :   Perceraian di Pasuruan, 3 Kali Lebih Banyak Digugatkan Istri

Teman-teman kerjanya menghubunginya melalui pesan, telepon, media sosial, dan beberapa ada yang datang ke rumah. Kepada yang datang ke rumah, saya katakan pada mereka, bahwa kami berdua sedang ada masalah besar dan Afifah sekarang saya pulangkan ke rumah orang tuanya.
Kampung halaman Afifah berada di luar pulau dan tidak mungkin mereka pergi ke sana, begitu pikir saya.

“Selamat siang, Mas Arif. Maaf mengganggu. Tolong sampaikan pada Afifah agar besok masuk ke kantor. Penting!”