“Terusir” dari Tanah Sendiri, Sewindu Menjadi Pengungsi

2769

“Kalau ada yang lahir disini, biasanya kami mintakan akta di Sampang sambil bawa surat keterangan dari sini. Lebih repot jadinya. Tapi mau bagaimana lagi. Kami tetap ingin pulang. Kami juga tidak mau konflik ini menjadi cerita tidak baikada untuk anak-anakanak kami,” tutur Sholihatin, penghuni rusun yang lain.

Koordinator Komite Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KonTras) Jawa Timur, Abdul Khoir mengatakan, status pengungsi Syiah yang tak pernah jelas ujungnya menjadi potret buruk keberagaman di Indonesia. “Bayangkan, delapan tahun menjadi pengungsi tanpa ada kejelasan masa depan ini apa coba?” katanya dengan nada bertanya.

Aktivis yang akrab disapa Juir ini mengungkapkan, negara, sejatinya sudah punya regulasi yang mengatur penanganan konflik. Misalnya, dengan membentuk tim penyelesaian konflik. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Sayangnya, upaya itu tidak pernah dilakukan hingga kini.

Baca Juga :   Pemprov Jatim Tak Serius Urusi Pengungsi Syi'ah Sampang

Pemerintah bahkan dinilainya acuh untuk menyelesaikan kasus ini hingga terus berlarut sampai sekarang. “Kami mencurigai ada kecenderungan dari pemerintah untuk membiarkan konflik yangy terjadi berlarut-larut tanpa penyelesaian. Sampai orang lupa dan tidak membicarakannya, seperti yang banyak terjadi. Jadi memang tak pernah ada upaya serius ketika terjadi konflik,” ungkapnya.

Padahal, dalam konteks kasus Syiah sampang ini, ruang penyelesaian itu cukup terbuka. Apalagi, upaya-upaya rekonsiliasi secara kultural oleh kedua belah pihak sudah berlangsung di tingkat bawah. Karena itu, pihaknya pun mendesak kepada pemerintah untuk bersikap tegas dan melakukan upaya konkret dalam menyelesaikan persoalan ini.

“Satu pertanyaan sederhananya adalah sampai kapan mereka berstatus sebagai pengungsi? Mereka hanya ingin pulang, kembali ke rumah untuk menata masa depannya yang sempat kacau karena kerusuhan itu. Jangan sampai ada kesan negara membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Karena jika itu yang terjadi, maka negara telah gagal memang tidak mampu menjamin dan memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas,” jelas Juir.

Baca Juga :   MWC NU Dringu Protes Pendirian Yayasan Berafiliasi Syiah

Penuturan serupa disampaikan Muhammad Muad, pendamping para pengungsi dari Ahli Bait Indonesia (ABI) Jawa Timur. Melalui media ini, pihaknya kembali mengingatkan pemerintah untuk melakukan upaya-upaya kongkret terkait pemulangan para pengungsi itu.” Bagaimanapun juga, mereka punya hak yang sama dengan warga yang lain untuk kembali pulang,” tuturnya.

Muad tak mengerti apa yang menjadi kendala pemerintah untuk memulangkan para pengungsi ini. Saat upaya rekonsiliasi di tingkat bawah mulai terwujud, hal sebaliknya justru ditunjukkan pemerintah. Alih-alih menyampaikan progress terkait pemulangan itu, kabar yang beredar justru merelokasi para pengungsi ke tempat lain.
Kabar itu pun tak pelak membuat para penghuni rusun resah. Karena itu, pada Selasa (19/03/2020) lalu, beberapa perwakilan pengungsi ke Gedung Grahadi, Surabaya untuk menemui Gubernur Jatim untuk meminta kejelasan. Tapi, gagal.

Baca Juga :   Polemik Syiah di Jangur Mereda, Ini Kesepakatannya

“Teman-teman ingin meminta kepastian karena sampai saat ini tidak terlihat ada progress dari pemerintah terkait upaya pemulangan itu. Mereka juga resah karena tiba-tiba tahun ini mereka mendapat PKH (Program Keluarga Harapan). Kami khawatir kabar (relokasi) itu benar,” jelasnya.

Terkait persoalan ini, WartaBromo.com mencoba meminta konfirmasi kepada Kepala Dinas Sosial Jawa Timur, Alwi. Akan tetapi, dengan alasan bukan kewenangannya, pihaknya menolak memberikan penjelasan. “Itu Kesbangpol Provinsi ya yang menangani,” ujarnya. Sementara Kepala Kesbangpol Provinsi, Jonatan, sempat menjanjikan untuk memberikan keterangan, hingga beberapa kali dikontak, yang bersangkutan tak merespons. (*)