Merdeka Energi: Cerita dari Kampung Terkotor

6251

Kehadiran biogas di Desa Balunganyar pada akhirnya mampu mengubah perilaku peternak setempat. Mereka tak lagi membuang limbah ternaknya ke sungai. Tetapi memanfaatkannya menjadi biogas. Sisa dari proses biogas kemudian kembali dimanfaatkan sebagai pupuk kandang (organik) untuk rumput gajah sebagai bahan pakan ternak sapi.

Prinsip kerja pembangkit biogas yaitu menciptakan alat yang kedap udara dengan bagian-bagian pokok terdiri atas pencerna (digester). Lubang pemasukan bahan baku dan pengeluaran lumpur sisa hasil pencernaan (slurry).

Di dalam digester ini terdapat bakteri anaerobik yang mengolah limbah bio atau biomassa dan menghasilkan biogas. Dengan pipa yang didesain sedemikian rupa, gas tersebut kemudian dialirkan ke kompor yang terletak di dapur. Gas tersebut dapat digunakan untuk keperluan memasak dan lain-lain.

Pembangunan tabung biogas beton Desa Balunganyar Kecamatan Lekok dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan penghematan pembelian tabung gas elpiji untuk keperluan memasak sehari-hari senilai Rp 76.000 per bulan untuk rumah tangga biasa. Tentu, penghematan lebih besar didapat oleh mereka yang aktif di industri rumahan. Seperti membuat kue dan jajanan.

Baca Juga :   Diduga karena Limbah, Air Kali Wrati Mendadak Berwarna Merah

Dan, sekaligus mengubah sistem pembuangan kotoran sapi langsung ke sungai dengan metode proses biogas yang ramah terhadap lingkungan dengan mengurangi pencemaran sungai.

Mulyono, 59, adalah salah satu warga yang merasakan langsung manfaat dari biogas ini. Dulu, sebelum memiliki biogas, ia menggunakan kayu bakar untuk memasak. Kini, setelah ada biogas, kebiasaan untuk mencari kayu bakar tidak lagi. “Ndak repot-repot lagi cari kayu. Kan dulu saya masaknya pakai kayu. Sekarang tinggak putar kran sudah nyala,” katanya.

Penuturan yang sama dilontarkan Kholifah. Semenjak ada biogas, ia bisa menghemat pengeluaran Rp 50-75 ribu setiap bulannya. Sebelumnya, biaya sebesar itu harus ia keluarkan untuk membeli tabung elpiji saban bulan.  ke halaman 3

Baca Juga :   Pandemi dan Momentum Wujudkan Ketahanan Energi

“Bagi orang-orang seperti kami ini uang segitu lumayan. Bisa untuk tambahan ongkos anak-anak di pondok,” ujar perempuan 39 tahun ini. Selain lebih menghemat pengeluaran, ia pun tak perlu bingung saat gas elpiji habis tengah malam. Tinggal klik, langsung nyala.

Cerita Mulyono dan Kholifah merupakan potret kemandirian energi oleh masyarakat pedesaan. Nilai baiknya, kotoran sapi yang sebelumnya dibiarkan tak terolah, kini memberi manfaat besar bagi kehidupan mereka sehari-hari.

Kenyataan itu disadari betul oleh pihak desa. Karena itu, sebagai bentuk dukungan atas program ini, pihak pemerintah desa (pemdes) mengalokasikan anggaran pembuatan biogas setiap tahun melalui dana desa (DD). Untuk jumlah unit yang dibangun bergantung kebutuhan saat pembahasan anggaran di tahun sebelumnya.

Pada 2018 lalu misalnya. Total ada 10 unit bioreactor atau digester yang dibangun pemdes. Empat diantaranya merupakan dukungan dari PT. IP. Sementara enam unit lainnya, dibiayai melalui DD. Sementara pada tahun lalu, ada dua unit yang didanai DD.

Baca Juga :   Duh, Hutan Ini Dilepas Hanya Demi Tambang Sirtu

Pembiayaan oleh DD tersebut sebagai bentuk keseriusan pemdes dalam upaya mengurangi limbah kotoran sapi. Sekaligus mendukung kemandirian energi yang manfaatnya telah dirasakan nyata oleh masyarakat setempat.

“Apalagi, dari sisi potensi juga kami ada. Wong sapinya banyak,” jelas Sholeh.
Program ini diberikan kepada siapa saja warga desa setempat yang menghendaki. “Syaratnya cuma satu. Warga atau pemilik rumah hanya menyediakan lahan untuk lokasi instalasinya. Semua biaya dari desa yang menanggung,” terang Sholeh.
Pihak IP sendiri mendukung program tersebut. Secara kasat mata, program mandiri energi setidaknya mampu mengurangi pencemaran sungai yang diakibatkan oleh pembuangan kotoran ternak sapi masyarakat.