Menepikan Dendam, Merangkai Kebersamaan; Pengakuan Korban dan Mantan Pelaku Teror

1344

“Saya akhirnya pulang ke Kediri. Totalnya setahun saya menjalani rawat inap dan empat tahun rawat jalan,” ujar Didik dengan suara bergetar. Puluhan peserta pengajian yang sebagian merupakan mantan kombatan dan teroris menyimak serius. Sejenak, suasana mendadak hening sebelum akhirnya Didik melanjutkan ceritanya.

Di kampungnya, Didik lebih banyak merenung. Pikirannya banyak dipenuhi orang-orang yang menjadi korban pelaku teror pada akhirnya menuntunnya untuk lebih aktif mengampanyekan perdamaian. Tak ada dendam ataupun sakit hati. Sebaliknya, apa yang dialaminya membuatnya belajar akan arti sebuah kesabaran. ke halaman 2

KONTRA RADIKALISME: Ketua Yayasan Lingkar Perdamaian, Ali Fauzi saat membuka pengajian Jalan Terang yang diikuti mantan teroris dan korban.

“Saya tidak dendam. Yang sudah terjadi ya sudah. Semua saya maafkan, tidak ada keinginan saya untuk membalas dendam karena nggak akan selesai-selesai,” ujar Didik. Sesekali, Didik mengipasi wajahnya. Maklum, meski sudah lewat belasan tahun, bekas luka akibat ledakan di JW Marriot itu kerap terasa panas dan perih saat kena keringat.

Baca Juga :   Siagakan Densus 88, BNPT Imbau Tingkatkan Kewaspadaan Hadapi Natal

Pada 2016, Ali Fauzi, mantan pelaku bom Bali I mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan. Sejak saat itu, Didik mulai intens menjalin komunikasi dengan sang pendiri. Keduanya bahkan kerap berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia untuk mengampanyekan perdamaian dan toleransi.

Ali Fauzi yang memimpin pengajian itu tak habis memuji sikap Didik. Menjadi korban serangan teror hingga cacat permanen, tak sedikitpun terbesit dendam dalam benak Didik. Karena itu, ia pun mengajak kepada semua yang hadir untuk belajar dan mengambil hikmah dari kebesaran hati Didik.

“Jujur, mereka-mereka (korban teroris) ini orang hebat. Orang-orang luar biasa yang bisa bersabar dan memaafkan atas apa yang mereka alami. Padahal, saya tahu betul luka itu belum benar-benar sembuh. Dari orang-orang inilah, mari kita belajar,” ajak Ali Fauzi kepada peserta pengajian yang memenuhi masjid jamik Tenggulun itu.

Baca Juga :   Terduga Teroris Bangil Merupakan Deportan Turki 2016

Selama berkeliling, Ali dan Didik acapkali bertemu dengan para korban dan mantan pelaku teror lain. Mereka berbincang, berdiskusi tentang seputar apa yang mereka lakukan sebelumnya. Dan, membangun Indonesia yang lebih damai dan toleran.

Tak jarang pula isak tangis mewarnai pertemuan itu. Terutama, jika mengingat rangkaian aksi teror yang telah memakan banyak korban. “Disana, kami banyak bertemu dengan kawan-kawan. Kami menangis, mengingat apa yang sudah kami lakukan. Kami tahu, maaf saja tidak cukup. Saya membayangkan, jika saya yang ada di posisinya Pak Didik, belum tentu kami sanggup,” terang Ali Fauzi.

Adik kandung terpidana mati trio bom Bali I ini menyadari, di luar sana, ada banyak korban yang mengalami nasib serupa seperti halnya Didik. Sebut saja Max Boon, seorang konsultan keuangan asal Belanda yang kedua kakinya diamputasi setelah terkena ledakan bom di Kedutaan Australia, Jakarta. Atau juga Iwan Setiawan, yang sebelah matanya tak berfungsi akibat peristiwa serupa.

Baca Juga :   Densus 88 Temukan Dokumen Perakitan Bom di Kontrakan Terduga Teroris Probolinggo

Kini, melalui Yayasan Lingkar Perdamaian, Ali Fauzi yang sempat divonis seumur hidup atas keterlibatannya dalam Bom Bali I banyak menggelar kegiatan dalam memerangi terorisme, memfasilitasi para mantan pelaku, hingga mempertemuan antara korban dengan mantan pelaku teror.

Berdiri tepat pada 29 November 2016, yayasan ini diresmikan langsung oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen. Suhardi Alius. “Yayasan ini memang untuk menampung teman-teman yang sudah kembali ke NKRI,” kata Ali Fauzi. Dari 400 mantan napi teroris yang ada saat ini, sekitar 100 diantaranya telah bergabung ke yayasan ini.