Douwes Dekker-Irawan Soejono, Duo Pahlawan Berdarah Pasuruan yang “Tertukar” (1)

3222

Douwes Dekker salah satu pengritik keras kebijakan politik etis yang menurutnya tak akan mengubah kondisi masyarakat Hindia Belanda. Diperlukan sebuah pemerintahan sendiri oleh orang Hindia Belanda. Gagasan revolusioner ini menurut Adrian B. Lapian sebagai gagasan pertama yang menyerukan pemerintahan sendiri, seperti dilansir dari historia.id.

Menjadi seorang Jurnalis di Bataviaasch Nieuwsblad, membawanya pada pertemuan dengan mahasiswa STOVIA (dokter Jawa). Rumahnya di Jalan Kramat, menjadi jujukan dan tempat nongki Tjipto Mangunkusumo, Soerjopranoto, Goenawan Mangoenkoesoemo, dkk. Dari korannya tersebut, pemuda Indonesia seringkali menerbitkan gagasan-gagasan tentang kemerdekaan.

Dari gagasan-gagasan tersebut, bermuara bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dibutuhkan wadah perjuangan yaitu Indische Partij (IP) pada 25 Desember 1912. Secara formal IP diresmikan dalam vergadering (pertemuan massa) yang diadakan di Bandung, dengan Hoofdbestuur (pengurus besar) dipimpin oleh Douwes Dekker sebagai ketua dan Cipto Mangunkusumo sebagai wakilnya. Karena dianggap sukses, Vergadering IP menginspirasi vergadering Sarekat Islam yang digelar Cokroaminoto.

Baca Juga :   Nama Pemuda asal Pasuruan Ini Dipakai Nama Jalan di Belanda, Siapa Dia?

Takashi Shiraisi, dalam Zaman Bergerak, menerangkan, tatkala vergadering digelar di Bandung, Dekker mengumumkan berdirinya IP merupakan sebuah “pernyataan perang”. “Yaitu sinar yang terang melawan kegelapan, kebaikan melawan kejahatan, peradaban melawan tirani, budak pembayar pajak kolonial melawan negara pemungut pajak Belanda,” tulis Takashi.

Menurutnya, pernyataan Dekker berbading terbalik dengan kebijakan politis etis yang mengagungkan kemajuan berasal dari Peradaban Barat.

IP merupakan partai politik pertama di Hindia Belanda, dengan program politik yang “radikal”, yakni, Indiervoor de Indier (Indonesia untuk Bangsa Indonesia). Sebuah program politik ambisius untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Karena dianggap radikal oleh pemerintah penjajah, IP tidak mendapat ijin, dan harus dibubarkan pada akhir maret 1913.

Karena aktivitas politik dan tulisan-tulisanya yang dianggap berbahaya, Douwes Dekker dibuang ke Belanda. Lebih tepatnya tiga serangkai tersebut, 19 Juli 1913, Ki Hajar Dewantara menerbitkan sebuah tulisan paling radikal pada saat itu berjudul “Als Ik eens Nederlander was” yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, kurang lebih berbunyi, “Andai aku seorang Belanda”. Dewantara menulis dalam bahasa melayu yang bisa dibaca khalayak lebih luas.

Baca Juga :   Peduli Pahlawan, Pemuda Pasuruan Upacara di Makam Untung Suropati

Dewantara memposisikan diri sebagai seorang Belanda yang menyorot kontradiksi Belanda yang sedang merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis di tanah yang sedang dijajah. Oleh sebab tulisannya, Dewantara bersama Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo diasingkan ke Belanda. Pembuangan ketiganya, menunjukkan betapa “berbahaya” pemikiran mereka bagi pemerintah kolonial.

Dalam buku Douwes ‘Nes’ Dekker (Dr. Danudirdja setiabudi), disebutkan bahwa ketika di belanda ia memilih untuk melanjutkan studi doktoral ekonomi politik di Universitas Zurich, Swiss, dan mendapat predikat cum laude. Pada tahun 1914-1915, ia juga memperdalam ilmu jurnalistiknya di Belanda.

“Di Belanda, aku pun memanfaatkan waktu untuk belajar. Universitas Zurich, Swiss, menjadi tempatku menimba ilmu. Aku berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana di bidang ekonomi dalam waktu satu tahun,” tulis dalam narasi buku tersebut.

Baca Juga :   Douwes Dekker-Irawan Soejono, Duo Pahlawan Berdarah Pasuruan yang "Tertukar?" (2-Habis)

Pada tahun 1917, hukuman pengasingannya dicabut, namun ia terganjal karena terjadi perang dunia I (1914-1918). Ia kembali ke Indonesia dan bergabung kembali dengan kawan-kawan pergerakannya di Nationaal Indische Partij (NIP) pada Juni 1919. Beberapa minggu setelah berdiri, NIP mempropaganda buruh tembakau di Klaten untuk mogok dengan alasan upah dan pengurangan jam kerja. Alih-alih berhasil, banyak di antara kawan-kawannya di tangkap. 10 April 1923, NIP resmi dilarang oleh pemerintah kolonial.
Ia lalu pindah ke Cibadak, Sukabumi.