Salah Saya

4292

Setelah itu saya tidak mau terima telepon. Agar ketika beliau kembali saya sudah siap.

Saya pun diperiksa di bagian dada dan punggung. Dengan stetoskop. Saya disuruh tarik napas dan melepaskannya. Di 8 titik dada dan 8 titik punggung. Saya tahu itu untuk mendeteksi paru-paru. Yakni organ paling menarik perhatian di pasien Covid-19.

Namanya: dr Hanny Handoko. Laki-laki. Ahli paru dari Unair, Surabaya. Yang pernah memperdalam ilmunya di National University Hospital (NUH) dan Tan Tock Seng Novena. Semuanya di Singapura.

Saya nanti akan bertanya tentang stetoskop yang ia gunakan. Kok berbeda dengan stetoskop biasanya yang kita kenal.

Tapi beliau duluan bercerita. “Kita pernah bertemu di Malang,” katanya. Lama sekali. Mungkin 20 tahun lalu.

Waktu itu dokter Hanny menjadi pejabat di bawah wali kota Malang, yang juga dalang itu. Sebelum akhirnya berlabuh di RSAL Surabaya. Dan sekarang di RS swasta ini.

Baca Juga :   Positif Covid-19 Terus Melonjak, 71 Kasus Tercatat dari Gempol

Umurnya 59 tahun. Anaknya dua. Yang pertama S1 di Melbourne. Kini di fakultas kedokteran di Queensland. “Di sana untuk masuk FK harus S-1 dulu,” ujar dr Hanny. S-1nya 3 tahun. Pendidikan dokternya 4 tahun. Total 7 tahun. Sebenarnya kurang lebih sama dengan waktu pendidikan dokter di Indonesia. Anak keduanya, putri, masih SMA di Surabaya.

Ternyata, menurut beliau, saya sangat kekurangan vitamin D.

Aneh. Benar-benar aneh. Setiap hari saya olahraga satu jam. Di lapangan terbuka. Kok kekurangan vitamin D.

Tapi saya tidak bisa protes. Hasil test: vitamin D saya hanya 23,4. Padahal setidaknya, harus di atas 40. Antara 40 sampai 100. Berarti vitamin D saya ini rendah sekali.

Itulah sebabnya saya diberi vitamin D (tablet) 5.000.

Mengapa tidak sekalian 10.000?

“Kalau ketinggian nanti kasihan ginjal. Untuk memberi obat, dokter harus mempertimbangkan banyak hal,” ujar dokter Hanny.

Di samping itu di Indonesia tidak dijual vitamin D di atas 5.000. “Di Singapura ada. Bahkan ada yang sampai 20.000,” katanya.

Baca Juga :   Kasus Covid-19 Lumajang Hari ini: 5 Sembuh, 2 Terpapar

Di Indonesia kalau memberi vitamin D 10.000 harus lewat suntikan. Kalau di Singapura suntikan bisa sampai 20.000. Bahkan 100.000.

Dokter Hanny lantas seperti menyindir saya. “Banyak yang berolahraga di bawah matahari tapi pakai topi dan kaus lengan panjang,” katanya.

Ha…ha…ha… Itu saya!

Alasan resmi saya: saya tidak boleh banyak terkena sinar matahari langsung. Itu terkait dengan obat transplant yang saya minum.

Alasan tidak resminya: takut menjadi lebih item!

Pokoknya: saya salah.

Di rumah sempat disiapkan kamar untuk, tapi nuruti anak akhirnya tidak jadi dipakai.

Dokter Hanny begitu serius membahas vitamin D ini. Saya menjadi seperti mahasiswanya: mendengarkan dengan baik. Agar bisa menulis dengan benar.

“Dulu, vitamin D itu kita kira hanya terkait dengan tulang. Ya kan?” katanya.

Tentu saya mengangguk. Pura-pura mengerti. Tapi saya memang pernah mendengar ilmu seperti itu.

Baca Juga :   Benarkah Banyak Tidur Bikin Gemuk? Ini Faktanya

“Belakangan vitamin D itu ternyata terkait dengan TBC, pernapasan dan bahkan kanker tertentu,” katanya. Karena itu di masa Covid-19 ini vitamin D menjadi sangat penting.

Sejak kapan ilmu baru itu diketahui? 10 tahun terakhir?

“Ya, sekitar itu,” katanya.

Dokter Hanny pun pernah streaming dengan India. Di masa Covid ini. Di sana banyak ditemukan kasus hubungan vitamin D dengan TBC dan gangguan pernapasan.

Begitu asyiknya membahas vitamin D saya hampir lupa bertanya soal stetoskop yang ia pakai. Kok di tengah selangnya seperti ada power bank ukuran lontong.

“Ini baru dipakai sejak ada Covid-19,” jawabnya. Made in China.

Yang seperti power bank itu adalah booster suara. Agar suara paru-paru terdengar jelas.

Sejak Covid-19 dokter harus mengenakan APD. Telinganya pun tertutup. Padahal dengan stetoskop biasa, ujungnya harus masuk telinga. Tidak mungkin lagi seperti itu. Tidak bisa buka-tutup APD setiap visite. Juga berbahaya.