Tanggung Jawab Difabel Netra atas Derasnya Informasi Dunia Maya

1003

 

Oleh: Dendy Arifianto*

BEBERAPA hari sebelum tulisan ini dibuat, viral diberitakan di berbagai media soal munculnya babi ngepet di daerah Sawangan, Kota Depok.

Dikisahkan, jika salah seorang warga setempat sering mengalami kehilangan uang. Dan seorang ustad mengasumsikan hal tersebut adalah akibat perbuatan seekor babi ngepet. Kemudian, secara kebetulan, terdapat salah seorang warganya yang diklaim menganggur tapi memiliki banyak uang.

Sontak, tanpa pikir panjang, warga setempat kemudian berbondong-bondong menghakimi orang yang diduga-duga berpraktik sebagai babi ngepet tersebut. Untungnya, Pak RT setempat berhasil mereduksi kemarahan warga. Hanya saja nahas bagi korban. Ia harus menerima diusir dari tempat tinggalnya itu.

Meski kemudian, diketahui, bahwa peristiwa itu adalah hoaks yang dikarang oleh Sang Ustadz. Jujur, saya agak merinding ketika mendengar berita itu. Bukan karena babi ngepetnya. Melainkan, karena warga yang amarahnya tersulut akibat provokasi suatu berita. Padahal berita itu tergolong hoax..

Baca Juga :   Master-Plan Al Qaedah 2020: Strategi Jitu Memukul Kepala Ular

Kasus tersebut sekaligus menjadi contoh betapa pentingnya untuk tidak menelan informasi mentah-mentah. Bahwa setiap informasi yang masuk, sudah selayaknya untuk diolah dan diverifikasi terlebih dahulu. Karena jika tidak, konsekuensinya fatal.

Orang-orang yang lagi tengar-tenger di teras rumah. Atau mungkin orang yang lagi bercengkrama bareng keluarga di sebuah rumah, tiba-tiba dipaksa angkat kaki. Kalau mau pakai istilah sekarang. Dengan kata lain, hak yang bersangkutan untuk mendapatkan tempat tinggal, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia jadi hilang.

Kalau boleh jujur, s3benarnya dalam peristiwa itu siapakah yang benar-benar ngepet? Apakah babi mungil seharga sembilan ratus ribu itu. Ataukah penyebar solusi babi ngepet harus ditumpas tersebut?.

Peristiwa yang saya ilustrasikan di atas, semakin menguatkan bahwa sebagai pengguna pembaca layar. Kita dituntut untuk lebih bertanggung jawab ketika berselancar dalam dunia maya atau mendapatkan informasi dalam dunia nyata.

Baca Juga :   Mendamba Pemimpin (Bukan) Pecandu Kekuasaan 

Namun, saya tidak akan membahas tanggung jawab kita ketika mendapat informasi dalam dunia nyata. Saya akan lebih bercerita pengalaman saya, ketika mendapat informasi dalam dunia maya.

Dalam bukunya, “Mark Manson” berjudul, “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodoh Amat” yang saya pinjam di Pustaka Digital Mitra Netra, menjelaskan jika kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri.. dan tanggung jawab itu rupa-rupa nilainya. Tergantung diri masing-masing.

Menurut saya, ketika masuk ke dunia maya, ada dua bentuk tanggung jawab. Pertama kita dapat berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa. Kedua, kita tentu saja dapat melakukan sesuatu. Dan saya pernah berbuat keduanya dalam menghalau informasi tak jelas yang datang ke saya.

Baca Juga :   Menagih Ketegasan Aparat untuk Penegakan Lingkungan

Berdiam diri di sini artinya menunggu. Tentu saja, ketika menunggu, saya tak serta merta hanya menunggu saja. Saya biasanya akan memanfaatkan pembaca layar untuk mendengar musik, membaca, menulis, atau sekedar beralih terhadap isu yang lain, sembari datang kabar terbaru.

Betul saja, pada tahun 2020 yang lalu, bermunculan sebaran link yang mengatasnamakan perusahaan sepatu ternama. Tak hanya sekali, sebaran itu berulang-ulang ada dalam grup WA yang saya ikuti. Pada intinya, sebaran itu memberikan sepetu gratis dengan syarat harus mengakses link yang sudah tertera.

Beberapa hari kemudian, muncul klarifikasi dari perusahaan tersebut, yang menyatakan jika perusahaan yang bersangkutan tak pernah menawarkan sepatu gratis. Jadi sebaran itu merupakan bohong belaka alias hoaks.