Merdeka atau Mati

1616

Merdeka atau mati ; bertahan atau mati ; bersama atau mati

Oleh : Ary Suprayogi

Saat merah putih mulai berkibar di awal bulan agustus tahun ini, terbayang wajah – wajah pejuang yang heroik melawan penjajah. Mereka bersatu, saling bahu membahu merebut kemerdekaan dari tangan cengkraman penjajah.

Kala itu, berulang kali para pejuang teriak pekik ke langit, “Merdeka atau Mati”. Padahal, modalnya hanya bambu rucing “suwuk-an”, tapi tekadnya mampu menembus barisan peluru senapan. Dan, menang.

Kita mungkin tidak bisa membandingkan kondisi perang kemerdekaan dengan perang melawan Pagebluk (wabah penyakit) saat ini.

Tapi setidaknya, hampir ada kemiripan. Yakni sama – sama berjuang mencapai tujuan bernama kebahagiaan. Bahagia sehat, bahagia mudah cari uang, bahagia bisa bebas untuk jalan – jalan tanpa rasa takut dan seterusnya.

Kesehatan dan pendidikan yang lebih baik adalah prioritas kita di semua level dan tingkatan untuk mengisi kemerdekaan agar negeri ini maju, tangguh dan tumbuh.

Baca Juga :   Cerita Kontributor WartaBromo saat Dinyatakan Positif dan Merasakan Pedasnya Stigma Covid-19

Saat si Corona merajalela dan masuk Indonesia khususnya tanah jawa,  saya lebih memilih kata pagebluk. Karena istilah ini lebih Njawani dan lebih dekat dengan orang – orang di sekitar kita. “Pagebluk Corona”.

Selama ini istilah baru membuat kita bingung memaknainya ; bingung menyikapinya ; bingung mewaspadainya ; akibatnya banyak orang – orang ngame – ngame di medsos dan susah mau bilang apa ;

Di awal pandemi 2020, semua desa – desa “manut” dengan pemberlakukan pembatasan kegiatan. Prabot desa bersliweran gagah berseragam satgas, semprot sana – semprot sini.

Kita semua tidak bisa kemana – mana atau bahkan memilih harus bagaimana. Kita disuguhi istilah 5 M yang dibungkus dengan istilah bernama Protokol kesehatan.

Faktanya, kita lupa jika kita punya kearifaan budaya lokal sejak lama, punya kebiasaan yang bisa disentuh dan tinggal dikuatkan, punya pengalaman pagebluk di tahun silam yang juga mengerikan, Isuk loro sore mati.

Kita punya keragaman alam yang sangat luas termasuk soal bertahan dan melawan segala jenis penyakit. Kita punya banyak ramuan yang bisa dibuat para tabib, dukun, asma’ mujarab para kyai dan dokter yang kini sudah canggih – canggih. Harus diingat, Corona itu makhluk sehingga “Opo jare Gusti Allah”.

Baca Juga :   Intip Rahasia Redaksi Wartabromo di Klinik Jurnalistik, Yuk!

Ada cara dan kebiasaan turun temurun yang lupa untuk diperbarui. Sehingga kita terjebak dalam kekalutan pagebluk global dan memunculkan kebingungan dalam mengatasinya. Dipaksa disiplin tapi kurang pendekatan terhadap budaya lokal sendiri.

Mengingatkan ; di awal tulisan ini, bahwa “bambu runcing “suwuk” pernah berani melawan mesiu senapan” sebelum merdeka bisa berkumandang.

Indonesia, negara yang kaya akan ragam suku, ada istiadat dan budaya, terbiasa makan asam garam dan rasa susah karena ratusan tahun dijajah. Terbiasa minum jamu pegel linu, tolak angin hingga beras kencur. Terbiasa ritual slametan sebelum panen dan seterusnya.

Pendekatan kultural budaya dan agama melawan kondisi terkini haruslah dikuatkan. Mungkin pandemi saat ini memang berbeda cara penanganannya tapi bukan berarti kita tidak punya cara dan kekuatan bersama untuk mengatasinya.

Baca Juga :   Nonton Bareng dan Berbagi dengan Anak Yatim Piatu, Ultah ke-8 WartaBromo Penuh Makna

Hampir setiap hari di kampung – kampung di liputi kesedihan karena kematian. Lonjakan angka kematian makin tinggi karena miniminya penanganan akibat rasa ketakutan untuk menjalani pengobatan.

Bersama atau Mati

Semoga momentum kemerdekaan, menjadikan kita semakin menguatkan satu sama lain untuk bertahan di tengah pagebluk ini.

Dulu, para pejuang melawan penjajah juga tidak sendirian. Mereka saling bahu – membahu untuk melawan penindasan, bergotong royong dan saling tolong menolong.