Tanjung Tembikar dan Jejak Jalur Rempah Nusantara

3131

Nah, salah satu tujuan Untung Suropati ditempatkan Amangkurat II di Pasuruan adalah untuk mengamankan jalur perdagangan di wilayah Pasuruan yang kala itu banyak diganggu para bandit. Di tangan Untung Suropati pula, Pasuruan benar-benar menjadi wilayah strategis yang banyak diperhitungkan. Baik oleh Mataram maupun oleh VOC (Belanda).

Mengubah Wajah Kota

Pasuruan menjadi semakin ramai pada Abad XIX, terutama setelah kebijakan Belanda menerapkan Cultuur Steelsel atau Tanam Paksa. Lahan-lahan di Pasuruan diubah menjadi ladang tebu dan kopi. Sejumlah pabrik gula juga dibangun oleh pemerintah Belanda kala itu.

Bahkan, untuk menjamin keberlangsungan produksi gula itu, Belanda juga membangun POJ (Proefstation of Java), sebuah pusat penelitian gula di Pasuruan. Sampai saat ini, fasilitas yang kini telah berganti nama menjadi Pusat Penelitian Gula Indonesia (P3GI) itu masih berdiri kokoh.

Baca Juga :   Simak Konsep Gus Ipul-Teno soal Pengembangan Pelabuhan
Pelabuhan Pasuruan tahun 1911. Foto: Koleksi Universitas Leiden.

Keberadaan fasilitas itu pun kian mempertegas posisi Pasuruan dalam perdagangan gula dunia saat itu. Singgih, dalam makalahnya berjudul Peran Pantai Utara Jawa Dalam Jaringan Perdagangan Rempah, menyebut pelabuhan di Pasuruan menjadi pelabuhan pengumpan (feeder) dari pelabuhan Tanjung Perak yang merupakan pintu utama dalam jaringan ekspor gula pada masa itu.

Handinoto dalam Pasuruan dan Arsitektur Etnis China Akhir Abad 19 dan Awal Abad ke 20, menyebutkan bahwa Pelabuhan Pasuruan makin ramai di Abad XIX.  Pasuruan sempat dipakai sebagai kota pelabuhan untuk membawa hasil perkebunan tersebut langsung ke pelabuhan–pelabuhan di Eropa.

Kala itu, Pasuruan juga disebut sebagai kota ‘collecting center’, yang berfungsi sebagai wilayah distribusi dan perdagangan bagi hasil bumi dari daerah disekitarnya sepanjang abad ke 19.

Jauh sebelum itu, Pasuruan juga banyak disinggahi bangsa-bangsa asing. Misalnya, ditemukannya catatan etnis China yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke 17 di Pasuruan.

Baca Juga :   Bongkar Muat Kapal Barang di Pelabuhan Pasuruan Turun 30 Persen

“Bahkan menurut pengamatan Tombe, pelancong dari Perancis yang pernah mengunjungi komunitas China di Pasuruan pada tahun 1803 memperkirakan, penduduk China yang hidup berkelompok waktu itu, merupakan sepertiga dari penduduk Pasuruan,” tulis Handinoto dalam Pasuruan dan Arsitektur Etnis China Akhir Abad 19 dan Awal Abad ke 20.

Gambaran bahwa Pasuruan termasuk dalam jalinan Jalur Rempah nusantara semakin menguat. Terbukti dari catatan H.J. Domis, Regent Belanda yang ditugaskan di Karesidenan Pasuruan tahun 1830.

Catatan Domis menunjukkan, bahwa pada tahun 1829, penduduk Karesidenan Pasuruan mencapai 234.769 jiwa. Dengan populasi masyarakat yang heterogen, di mana tercatat ada 322 orang Eropa, 65 orang Arab, dan 930 orang Tionghoa.

Baca Juga :   Bupati Pasuruan yang Jadi Menteri Belanda Itu Berpulang Jelang Kemerdekaan (4-Selesai)

Dapat disimpulkan bahwa Pasuruan pada masa itu telah berkembang menjadi sebuah kawasan yang maju secara perekonomian. Terbukti, dengan heterogenitas masyarakatnya, Pasuruan menjadi kota yang mampu menarik orang-orang untuk tinggal.

Domis sendiri menyebutkan, bahwa saat Untung Suropati berkuasa atas Pasuruan, menjadikan Pasuruan sebagai pusat perekonomian. Dan Bangil, wilayah sebelah barat Pasuruan semakin ramai di bawah kepemimpinan Adipati Wiranegara.

Keluar Jalur

Kota Pasuruan yang sempat menjadi kota bandar berbeda jauh dengan kondisi Kota Pasuruan hari ini. Pelabuhan sebagai pusat perdagangan mengalami kemunduran jauh. Pelabuhan Kota Pasuruan saat ini hanya menjadi pelabuhan lokal yang menjadi tempat bongkar muat ikan nelayan lokal.

Tak ada lagi kapal-kapal besar pengangkut komoditas ekspor-impor yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Tembikar. Dengan begitu, Pasuruan semakin terpental dari jalur rempah Nusantara pada penghujung abad XIX.