‘Setiap Waktu Menangis Ketakutan’ – Kisah Mahasiswi Asal Pasuruan Dikepungan Perang Sudan

1311
Ummu Fatimah Qomariyah (20), mahasiswi yang menimba ilmu di Universitas International University of Africa, Sudan. foto : A Romadoni

“Jadi tempat kampus dan asrama saya itu berada di zona merah, dari kanan dan kiri suara tembakan hingga suara rudal terus terdengar, jaraknya dekat sekali”

Laporan : Akhmad Romadoni

Suasana haru bahagia masih nampak di kediaman Ummu Fatimah Qomariyah (20), seorang mahasiswi yang menimba ilmu di Universitas International University of Africa, Sudan. Ia berhasil pulang dengan selamat ke tanah air di tengah kepungan perang di Sudan.

Raut wajah bahagia keluarga Ummu Fatihah terlihat saat menyambut kedatangan media ini berkunjung ke rumahnya di Gang Jambangan 2, Kelurahan Purworejo, Kecamatan Purworejo, Kota Pasuruan, Selasa (2/5/2023) siang.

Bagi keluarga Ummu Fatihah mendapatkan beasiswa untuk menuntut ilmu di salah satu Universitas ternama di Sudan membuat mereka bahagia. Masuk tahun 2020 lalu, Mahasiswa jurusan Syariah itu tak mengetahui jika akan ada perang antar saudara yang terjadi di Sudan tersebut.

“Saya taunya awal dulu itu cuma demo-demo warga sipil aja,” kata Ummu mengawali ceritanya.

Menurutnya, perang besar terjadi sekitar tanggal 15 April 2023 saat bulan Ramadhan lalu. Tembakan demi tembakan terdengar dari dalam Asrama tempat ia tinggal bersama beberapa teman perempuan lainnya. Bahkan, suara bom hingga rudal juga terdengar jelas.

“Jadi tempat kampus dan asrama saya itu berada di zona merah, dari kanan dan kiri suara tembakan hingga suara rudal terus terdengar, jaraknya dekat sekali,” terangnya, dengan gestur masih trauma dengan suara tembakan dan rudal.

Setiap waktu, pagi, siang dan malam ia sering menangis ketakutan. Susah tidur dan susah makan ia rasakan sekitar seminggu lamanya, sebelum akhirnya ia dan temannya berhasil dievakuasi.

“Asap-asap hitam sering terlihat di langit, tembakan terus terjadi, dan suara ledakan rudal pun bahkan menggetarkan kaca-kaca asrama,” tandasnya.

Perempuan yang masih kuliah di semester 5 itu juga mengatakan, waktu perang paling banyak terjadi saat petang hingga subuh pagi hari. Bahkan gelap, tak ada listrik pun semakin membuatnya ketakutan berada di dalam asrama.

“Biasanya, jam tengah malam sampe subuh itu, saya sering susah tidur, takut, nangis juga,” ungkapnya.

Sesekali ia juga sering memberikan kabar kepada keluarga yang ada di Pasuruan.

Peristiwa yang bertepatan saat bulan Ramadhan, membuat gadis dari 8 bersaudara ini kesusahan untuk mencari makan dan minum.

Ia masih harus menunggu kiriman air dan makanan dari pihak kampus. Pasalnya, akses untuk mencari kebutuhan sudah tertutup.

Ummuh Fatimah bersama sang ibunda Nurul Qomariyah

“Hanya menunggu, soalnya kan listrik juga mati, sinyal susah, minum dan makan untuk buka dan sahur juga masih nunggu,” tuturnya.

Perempuan anak dari pasangan Abdul kadir (52) dan
Nurul Qamariyah (50) juga menceritakan kesulitannya untuk mencari makan, sekalipun mendapatkan makanan, ia dan teman-teman lainnya hanya bisa makan nasi putih, dengan mie instan mentah yang ditaruh di atas nasi.

Selain itu, di asrama tersebut juga ada aturan terkait keamanan saat perang terjadi. Para mahasiswa tidak diperbolehkan untuk mendekati kaca dinding asrama.

“Tak boleh mendekati kaca, kan bahaya, itu tiba-tiba bisa ada tembakan ke arah kaca,” katanya.

Bahkan, selonsong peluru juga sempat ditemukan di asrama perempuan.

“Ada peluru juga yang masuk,” ujarnya.

Hari raya idul fitri tak menghentikan kondisi perang. Konflik yang terjadi masih membuat perang itu terus terjadi.

“Ada himbauan, sholat Ied perang berhenti, itu hanya dua jam. Tapi, kemudian lanjut lagi,” katanya.

Momen lebaran juga ia rasakan tak seperti biasanya, tak bisa pulang hanya bisa menelpon ibu. Perasaan cemas orangtua pun terus dirasakan di momentum lebaran tersebut.

Ummu Fatimah saat berkumpul bersama keluarga

“Khawatir pasti, nggak bisa tidur tenang, apalagi ayahnya selalu duduk bersila memegang handphone menunggu kabar anaknya yang ada di Sudan,” saut Nurul Qomariyah (50), ibunya yang saat itu menemani Ummuh Fatihah bercerita.

Kabar tentang evakuasi WNI yang ada di Sudan membawa angin segar bagi keluarganya, lebaran berselang beberapa hari tim evakuasi dari Indonesia kemudian mengajak beberapa mahasiswa untuk keluar dari zona merah perang tersebut.

“Kemudian relawan membawa kami (mahasiswa Indonesia) keluar,” sambungnya.

Ummu kemudian menceritakan proses mencekam evakuasi yang terjadi. Tim relawan mengajak para mahasiswa sekitar 80 orang keluar dari asrama sekitar pukul 03.00 wib dini hari. Hanya boleh membawa satu ransel dan berkas-berkas penting lainnya.

“Tak boleh bawa banyak, jadi bawa baju satu setel dan berkas-berkas penting. Sudah itu aja,” tuturnya.

Proses evakuasi pun dilakukan, membutuhkan sekitar 1 hari lebih untuk sampai di Jedah. Menurutnya masih ada beberapa mahasiswa yang belum di evakuasi dari tempat itu.

“Sangat senang saat sudah sampai di bandara Jakarta,” tuturnya.

Nurul, ibunya mengucap syukur saat anaknya tiba di Indonesia. Rasa khawatir dan cemas sudah redah.

“Nangis mas, namanya orangtua gelisah, ayahnya juga nangis nggak kerja sehari karena khawatir. Anaknya minta doa terus, hanya doa terus yang bisa dilakukan. Alhamdulillah sekarang sudah bisa di rumah kembali berkumpul keluarga,” kata Nurul. (yog)