Monolog Tong Sampah (Kritik untuk APBD)

3256

Suatu malam, langit buram. Gerimis sebenarnya masih tajam ketika itu. Malam memang telah memayungkan kelam, jadi ia kira takkan ada yang memergokinya. Maka, dengan tanpa ragu dan kecemasan sama sekali ia jejalkan orok merah itu  ke perutku. Setelah itu, tanpa rasa bersalah atau setidaknya rasa sungkan terhadapku ia pergi begitu saja ke balik tikungan malam.

Meski wajahnya pias, nampaknya ia masih sangat muda. Dan, sebenarnya ia cukup ayu untuk ukuran malam seremang kala itu. Masih kuingat, ia masih nampak begitu ranum. Terlalu hijau untuk peran sememiriskan itu dalam teaterikal hidup. Meski berkali-kali aku bertemu dengan bermacam cerita kelam, malam itu aku merasa ngilu. Sampai-sampai kutengadah langit, apa sudah waktunya ia rontok?

Tak ayal, setelah ia pergi ke balik tikungan malam, aku ketiban tanggung jawab untuk menenangkan orok merah yang dititipkan gadis berwajah pias itu. Aku komat-kamit membaca mantra mengusir rembulan dan  berharap matahari segera datang. Dengan begitu seseorang dari dinas kebersihan akan mengangkat sampah-sampah dari perutku dan menemukan sang bayi. Untuk ia serahkan ke puskesmas atau panti asuhan, bukan untuk ia jual pula. Tapi, kau kan tahu, matahari sebenarnya juga terluka memerankan tugas kehambaannya. Matahari bahkan berkali-kali memohon izin Tuhan untuk meledakkan dirinya. Agar alam raya ini luluh lantak. Dan kalian manusia, meleleh menuju antahberantah ketiadaan. Jadi semalaman aku menggendongnya. Meminjankan kehangatan kepada si jabang bayi, hingga aku sendiri menggigil.

Untungnya juga, si jabang bayi tak menangis hingga fajar tiba. Sepertinya ia mengerti jika harus menghemat sedu sedan. Karena malam telah tuli, apalagi aku bukan haribaan yang hangat. Semalaman ia berusaha untuk tidur. Ia begitu lelap dalam ayunan perutku. Berpelukan erat dengan plasenta berbalut darah. Matanya terpejam tenang. Seakan ia tahu jika gelap mengandung segala macam kengerian. Sepertinya ia tahu, dunia sekelilingnya amat pekat serta berkeliaran gambar-gambar menakutkan sama sekali asing dari panorama di alam rahim. Dan seperti harapaku, harapan bulan dan tikus-tikus di lubang got, ia baru memekikkan teriaknya menjelang fajar merekah. Ketika para tukang sapu mulai mengangkat sampah-sampah.

Aku masih ingat ia tersenyum samar padaku ketika orang-orang  memboyongnya entah ke mana. Mengucapkan terima kasih atas pinjaman rasa hangat yang sebenarnya kupinjam juga dari malaikat. Ia juga berpesan, kalau ibunya kapan-kapan datang lagi kepadaku untuk sekedar membuang kondom bekas atau membuang saudaranya,  ia menitip sebuah ucapan terima kasih atas pinjaman rahim selama ini. Paling tidak ia telah berujud manusia dan dengan begitu, ia bisa dititipi kesadaran untuk mengenal Tuhan.

Baca Juga :   Crosser dan Gasstrack Nasional Ramaikan Ajang Motocross Piala Bupati Pasuruan 2017

Yang paling kuingat dari secuil lakon balada itu, adalah ketulusan si jabang bayi menerima perannya sebagai wadah segala perih. Ia berkisah, ibunya yang masih ranum itu, ditunggangi seorang Bapak Pejabat di sebuah losmen murahan di Tretes. Ia, sebelumnya adalah sekerat daging kambing yang dilahap bapaknya di warung dekat Gang Sono. Si Jabang Bayi merasa dirinya takkan dapat disucikan meski oleh air lautan. Karena dari asal muasal dan hakikatnya, ia adalah najis. Bapak Pejabat membayar sate kambing itu dari uang receh sisa dana proyek aspal jalan raya.

********

apbd

“Kalau cerita tadi menguras air mata layaknya sinetron karya para pedagang hayalan di televisi, yang akan kuceritakan sekarang malah akan membuatmu miris. Mungkin ini rahasia ”interupsi” para malaikat ketika Tuhan hendak menciptakan manusia. Tuhan tentu saja tahu tabiat manusia memang suka berlaku keterlaluan, tapi kebijakan Tuhan, siapa yang berani membantah?.

“Kejadiannya juga ketika malam telah memayungkan kelam. Bulan tidak sedang berjaga, hanya burung hantu bertengger di kawat telepon menemaniku, itupun kebetulan saja. Tikus, kucing liar dan kecoak, entah kemana. Sepertinya mereka memang sengaja menghindar agar tak ikut menyaksikan adegan semengerikan itu.

“Sebuah mobil box berhenti mendadak setelah terbirit-birit layaknya dikuntit malaikat kematian. Hampir saja ia menyenggolku jika pengemudinya tidak segera menginjak tuas rem. Mobil itu berhenti dengan amat tiba-tiba di sampingku. Bagai durasi sebuah sambaran kilat, dua sosok manusia melompat dari box belakang, melemparkan buntalan ke perutku, bug!!!, dan dalam durasi itu pula, mereka kembali melanjutkan pelariannya seakan dikejar malaikat.

“Aku belum sempat melongok ke dalam buntalan tersebut ketika bau anyir mengalir ke hidungku. Selanjunya, lelehan hangat membanjir ke perutku, dalam balutan malam nampak cairan pekat. Kental. “Darah?” bisikku. Kenapa darah, apa sebenarnya yang mereka buang?. Kurogoh-rogoh buntalan tersebut. Dengan pantulan cahaya mata burung hantu, kuangkat sambil kuhitung; tangan, betis, paha, beberapa ruas jari, kepala!. Benar, kepala. Matanya bahkan masih melotot. Mungkin mengikuti kibasan tangan malaikat maut mencabut ruh.

“Kau tahu, kepala itu, jidatnya licin. Giginya rapi. Bibirnya agak menghitam seperti sering tersengat batang sigaret. Rambutnya, meski berminyak dan rapi, nampak sedikit lebih panjang dari ukuran rambut orang kebanyakan. Ada tahi lalat di dagunya. Kumisnya tak seberapa lebat. Butir-butir keringat masih tersisa, menegaskan jika kematian dengan cara semacam itu teramat perih. Lihatlah, ada tali melilit pada rambut panjangnya. Sebuah flasdisk. Rupanya mereka terburu-buru mengemasnya. Tak sadar jika flasdish ini juga mereka masukkan ke dalam buntalan. Flasdisk, perokok, rambut gondrong, jidatnya licin. Sepertinya seorang pemikir. Siapakah ia?. Wartawan, aktivis, pemimpin LSM yang mencoba mengorek sebuah skandal korupsi?. Mana aku tahu, aku hanya sebuah tong sampah. Amat banyak kebudayaan manusia yang tak kupahami.

Baca Juga :   Bom Meledak di Rusun Wonocolo

“Temanku—juga sebuah tong sampah—yang dipasung di sebuah tempat, di luar batas kota kecamatan sana,  beberapa minggu kemudian bercerita kepadaku bahwa pada malam ketika rembulan tak sedang berjaga melenterai bumi, ia juga dititipi sebuah buntalan berisi organ-organ tubuh manusia. Warna kulit tubuh itu, berdasarkan deskripsinya, mirip dengan warna kulit tubuh yang dijejalkan ke perutku.

“Selanjutnya, beberapa hari kemudian, dari sebuah koran bekas yang dijejalkan pula ke perutku, aku tahu ada beberapa orang kehilangan anggota keluarganya. Begini petikan wawancara dalam koran itu:         

“Kakak menghilang setelah didatangi tamu misterius. Tamu itu marah-marah seraya melemparkan koran yang memuat artikel kakak”

“Memangnya artikel tentang apa?”

“Kakak memang keterlaluan kalau mengkritik. Kakak menulis tentang menyalahgunaan APBD”

“Kalau sekedar helai-helai kondom bekas, tiap hari ada saja yang menjejalkannya ke perutku. Bahkan ahir-ahir ini, malah anak –anak SD dan beberapa siswi SLTP yang menjejalkannya. Apa mungkin disuruh oleh orangtua  mereka?.

“Pernah suatu kali aku mendapat tugas begitu berat. Perutku dijejali sampah teramat banyak dan berjenis tak wajar. Jalanan ramai kala itu. Truk dengan muatan orang –orang berseragam coklat menderung-derung. Berkonvoi menuju selatan kota. Sedetik kemudian, terdengar kegaduhan memilukan. Ada suara anak-anak muda berteriak dengan megaphone. Suara keriuhan ditembak dengan water canon. Suara batu dilempar ke segala penjuru. Suara kepada tertimpuk batu. Suara orang mengaduh kesakitan. Suara jepretan kamera. Suara orang bertanya dengan memaksa serta memancing-mancing jawaban. Suara handy talky. Tapi suara sumpah serapah lah yang sangat terdengar jelas.

“Aku baru mengerti apa sebenarnya yang terjadi ketika menjelang tengah hari aku ditimpuk dengan sampah amat sangat banyak. Tentu saja terdapat barang-barang semacam sandal jepit, botol air mineral, pecahan batako, pecahan kaca kantor entah apa, tisu dan perban berlelehan darah, spanduk berisi sumpah serapah “APBD untuk rakyat, bukan untuk para bangsat” puntung rokok, ada juga kertas terlipat kecil bertuliskan “Bapak bilang habisi saja. Habisi di tempat” Sepertinya sebuah memo.  Kulit perutku tergores dan perih karenanya. Hingga saat ini aku penasaran, siapa yang iseng membuang botol-botol berisi air mata ke perutku.

Baca Juga :   UMKM Pasuruan Dinilai Kurang Manfaatkan Teknologi

Sebelum hari penuh kegaduhan itu aku tak pernah bekerja dengan begitu berat. Paling  hanya menampung sampah-sampah ringan semacam struk belanja super market, bungkus makanan ringan, potongan-potongan kertas berisi dokumen rahasia entah apa. Remasan kertas berisi laporan alokasi dana tak masuk akal dari kantor di seberang jalan. Dan sisa-sisa makanan dari restoran cepat saji yang sepertinya dimakan secuil saja lalu dibuang. Maka aku kemudian menjadi semacam tempat daur ulang. Sisa-sisa makanan tadi, pada malam-malam gelap biasa dikorek oleh orang-orang sial macam gelandangan, orang gila, anak punk atau siapa saja. Kucing, tikus serta kecoak di sekitar jalan tempatku dipasung menjadi sejahtera. Mereka menggemuk, bahkan nampak kelewat gemuk. Tubuh mereka menjadi tambun dan bulu-bulu mereka nampak halus.

Ada juga, orang-orang aneh yang sering mengumpulkan remasan atau potongan-potongan kertas dari kantor di seberang jalan itu. Biasanya mereka datang pada malam hari. Menyaru sebagai pemulung namun sebenarnya hanya mengambil kertas-kertas dari kantor sana. Sering mereka saling berbisik dengan muka tegang. Membaca sekilas tulisan dalam remasan-remasan kertas. Jika kertas- kertas itu terlanjur dihancurkan dengan mesin penghancur dokumen,  mereka menyusunnya seperti puzzle. Dilem lagi, lalu susah payah dibaca atau disalin di bawah pohon kersen.

Ternyata, setelah kisah-kisah ajaib seperti yang kuceritakan tadi, masih ada lagi kisah-kisah tak kalah mencengangkannya. Bahkan ketika bulan, lalat, kecoak, tikus serta kucing mengetahuinya, mereka jadi begitu frustasi.

“ Lihat, apa yang mereka buang di perutku?” kataku.
  “ Apa?”
“ Lihat sendiri”
 “ Hati?”
 “ Ah, bukan”
“ Bukan apanya,  lihat sendiri itu apa! 
“ Ah, itu pasti hati binatang dari tempat jagal di seberang sana”
 “ Coba lihat !. Ini bukan hati binatang. Mana ada hati binatang yang menghitam begitu. Hati binatang itu putih”
“ Lantas ini hati apa?”
 “ Apa lagi, ya hati manusia”
“ Ah, kau mengacau”
“ Aku yakin ini hati manusia”
 “ Dari apanya?”
 “ Kalau bukan manusia, siapa lagi yang tega membuang hatinya sendiri ke tempat sampah?”

Penulis : Abdur Rozaq