Pelajaran Dari Batu Dan Cucu

1305

“Betapa mahal membangun pabrik gula di Sumba Timur itu. Tinggal mengalikan. Delapan ribu hektar kali Rp 200 juta. Saya bisa menghitung itu. Tapi angka di kalkulator saya tidak cukup banyak.”

Oleh: Dahlan Iskan

Saya masih penasaran. Bagaimana tanah berbatu itu bisa diubah. Jadi perkebunan tebu. Di Sumba Timur.

Tanahnya begitu kering.  Begitu berbatu..Begitu tandus. Jarang kena hujan.

Saya sekali lagi ke kebun tebu itu. Minggu lalu. Sebelum bermalam di kemah. Di padang savana. Di  Sumba.

Di kebun itu saya diterima oleh para manajer mereka. Yang ditugasi menjelaskan apa saja.
Yang ternyata  tidak satu pun yang ahli tebu. Atau ahli gula. Sekedar berpengalaman pun tidak.

Disengaja begitu. Untuk menemukan terobosan baru. Di medan baru. Di iklim baru. Di jenis tanah yang baru.

”Semua teori kebun tebu tidak berlaku di sini,” ujar Husin Nurroy pada disway.id.

Baca Juga :   Mesin Pencari Google Peringati Hari Anak Nasional

Husin sendiri ‘manusia kelapa sawit’. Demikian juga anggota tim lainnya. Ia sudah malang-melintang di sawit. Lebih 20 tahun. Sejak tamat fakultas pertanian Universitas Jember.

Bahkan Husin menghabiskan masa mudanya di kebun. Dekat perbatasan. Dengan Serawak. Di pedalaman Kalimantan Barat.

Ilmu kebun ia peroleh di situ. Di lapangan. Di pedalaman. Istrinya pun ia dapatkan di situ: wanita suku Dayak.

Mungkin Husin orang Bojonegoro, Jatim, pertama yang beristeri wanita Dayak.
”Kami memang suka tantangan,” kata Husin.

Tentang tanah berbatu itu. Yang ia hadapi sekarang itu.  ”Lahan di sini batunya 70 persen. Tanahnya hanya 30 persen,” tambahnya.

Dua tahun Husin dan teman-temannya trial and error. Learning by doing. Baru tahun 2016 tim kebun menemukan jalan keluar.

Bongkahan batu-batu yang sebesar kerbau dipecah. Dengan teknologi. Menjadi sebesar kambing. Lalu diangkut. Ke satu lokasi.

Di gudang batu itu disediakan mesin. Penghancur batu. Dilembutkan. Menjadi sebesar cenilan tahi kambing. Itulah bahan utama untuk membuat jalan.

Baca Juga :   Anggap Tak Transparan Soal Kompensasi, Warga Akan Datangi PT CJI

Di kawasan kebun ini memang harus dibangun jaringan jalan. Total panjangnya 15 km. Sebagian jalan itu lebarnya 30 meter. Yang di sekitar calon lokasi pabrik gula.

Begitu banyak material yang diperlukan. Dan ternyata… itu tadi… bisa dicukupi dari batu yang harus dipindahkan.
Tidak perlu mendatangkan material dari luar. ”Tanpa menghadapi kesulitan itu tidak akan ditemukan sumber material untuk membangun jalan,” ujar Husin.

Tidak semua batu dipindahkan. Yang sebesar ayam ditinggal. Untuk dilumat di tempat. Dijadikan selembut tanah. Agar menyatu di situ. Kebetulan jenis batunya karang. Bisa dilembutkan menjadi kapur.

Memang, cara ini sangat memamah uang. Biaya membuat kebun tebu menjadi sangat mahal. Satu hektar perlu biaya –ampuuuun– Rp 200 juta. Baru tebu bisa ditanam.

Baca Juga :   Wakil Walikota Probolinggo Suhadak Kembali Tersandung Kasus Korupsi

Bandingkan dengan di Jawa. Atau Lampung. Hanya diperlukan Rp 12 juta/ha. Tebu sudah bisa ditanam.

Peralatan yang harus disediakan pun bukan lagi cangkul. Atau lencek. Atau ganco. Tapi alat-alat berat: ripper dozer, buldozer, excavator, stone, crusher, sorting-bucket excavator dan seterusnya.

Waktunya pun sangat lama. Pun dengan alat sebesar itu. Satu hektar perlu pengerjaan tiga bulan.

Betapa mahal membangun pabrik gula di Sumba Timur itu. Tinggal mengalikan. Delapan ribu hektar kali Rp 200 juta. Saya bisa menghitung itu. Tapi angka di kalkulator saya tidak cukup banyak.

Untung ada dua orang super kaya. Yang mau terjun ke sana. Robert Budi Hartono dan William Katuari. Yang satu pemilik grup Djarum. Satunya lagi pemilik grup Wing. Yang satu orang Kudus (Jateng). Satunya lagi orang Surabaya asal Tulungagung.

Dua orang itu bekerja sama. Mendirikan PT Muria Sumba Manis.