Ketika Terlanjur Masuk di “Bukan” Sekolah Favorit

1193
“Jadi kebiasaan, guru-guru di Sekolah Favorit membuat pertanyaan yang tingkatannya lebih tinggi dari sekolah biasanya. Hingga otak muridnya kadang nyampe kadang gak.”

Oleh Maya Rahma 

SEKOLAH Favorit bukan tempat yang harus didewakan dan diagung-agungkan sebenarnya.

Saestu ibuk-ibuk. Izinkan saya bercerita terkait sekolah favorit dan Tips supaya betah belajar di sekolah yang bukan favorit.

Dari lubuk hati terdalam tanpa ada rasa sombong, saya bercerita. Selama 6 tahun saya hidup berkutat di sekolah favorit di kota saya, Lumajang. Kalau yang asli Lumajang, pasti tau lah dimana sekolah itu. Itu lho yang satu komplek. Clue-nya, masuk dalam Sekolah Unggulan Terpadu.

Ya gitulah..

6 tahun sekolah di sana ada bahagianya, ada nggaknya. Bahagianya, karena fasilitasnya, guru-guru pokoknya semuanya itu bikin seneng lah. Selangkah di depan dari sekolah lain. Saya pernah tulis tentang itu sekilas, baca disini.

Minusnya juga ada dong. Banyak. Saya agak susah sekolah di sana. Karena otak saya yang kelewat pas-pasan meski saat SD sering juara sekolah. Saya kesulitan beradaptasi di sana. Teman-teman saya itu otaknya bikin kicep. Pinter-pinter, anak e sopo ta? Dikei mangan opo mbek wong tuone? Itu yang ada dipikiran saya saat itu.

Baca Juga :   Zonasi Berlaku, Mantan Sekolah Favorit Masih Laku

Padahal, beberapa guru ngajarnya juga oke. Saya nyambung banget kalau diajari. Eh tapi waktu ulangan, nilainya haduhhhhh… Mengkhawatirkan.

Jangan bilang-bilang ya. Beberapa kali kami sekelas sempat remidi. Nilainya 20, 30, 40. Beneran segitu nilainya. Cuma dapat upah nulis. Ada yang remidi sekali, ada yang dua kali, bahkan jika gurunya baik, sampai ngadain tiga kali remidi. Dan itu masih ada saja yang gak bisa mencapai nilai 75-78 (standart nilai waktu itu). Lah yaopo rek, wong soale ae wes soroh, ndanio jawabane. Buat menelaah soal aja kadang kesulitan, makanya bingung mau jawab apa. Gitu lho Mak.

Jadi kebiasaan, guru-guru di Sekolah Favorit membuat pertanyaan yang tingkatannya lebih tinggi dari sekolah biasanya. Hingga otak muridnya kadang nyampe kadang gak. Kenapa gitu? Karena saat kami semua diminta ngerjain soal sekolah lain, mendadak bisa lho. Soalnya kelewat gampang kata kami saat itu. Cek sombonge!

Keluar dari sekolah favorit selama 6 tahun itu, saya mencari kampus yang mau menampung saya. Tersebutlah beberapa kampus di daerah Jogjakarta sana, kota Pendidikan katanya. Eh.. lah kok saya terhalang zonasi.

Baca Juga :   Kasus Positif Covid-19 Meningkat, Bupati Probolinggo Batalkan Uji Coba Pembelajaran Tatap Muka

Orang tua saya menetapkan zona saya di sekitaran Lumajang aja, di Jember. Udah telat banyak. Satu-satunya kampus yang buka registrasi waktu itu hanya kampus negeri yang gak bagus-bagus amat. Super biasa aja. Ambil jurusannya juga tinggal yang tersisa aja kuotanya. Sekiranya peluang saya masuk itu besar sudah. Nekat Mak! Sekolah 6 tahun soroh-soroh jebule nang sekolah biasa ae.

Awal masuk saya minder. Sempat mengucilkan diri dari teman-teman alumni sekolah favorit dulu. Karena pas ditanya gini.

“Eh kamu kuliah dimana,” kata temanku.

“Di Sekolah Tinggi XXX,” kataku.

Terus dia-nya jawab “Lho dimana tuh? Emang ada sekolahan ya disana?”

Seketika saya males jawab. Ku mau bilang gini, “Mbok pikir kowe tok seng heran mbek kampusku? Aku yo podo kaet ngerti ono sekolah iki pas mlebu kene!”

Tapi saya gak ngomong gitu. Cuma senyum-senyum kecut kudu ngaplok orang.

Baca Juga :   Beri Kesempatan Anak-anak Belajar, Gus Irsyad Minta Matikan HP

Di sinilah saya mulai belajar nerimo. Melihat teman-teman saya yang mohon maaf banget, ibaratnya sudah kuliah harusnya 2×2 bisa jawab 4, ini gak semua bisa. Saya ngerasa duh… Gimana ya? gitu lah. Saya tertantang.

“Ini kesempatanmu buat unggul di sekolah-an tidak favorit ini,” teriak batin ini.