Guyub Rukun ala Masyarakat Tengger; Potret Kearifan Lokal di Era Digital

2245

Karena itu, dukun di Tengger memiliki peran untuk memimpin pelaksanaan upacara adat dan keagamaan. Para dukun ini bahkan sebagai tempat bertanya warga yang menghadapi kesulitan hidup.
Hal ini menjadikan para dukun di Tengger sebagai sosok yang paling dihormati dan disegani. Bahkan, mereka lebih memilih untuk tidak memiliki kepala desa ketimbang tidak ada dukun.

Eko Warnoto, dukun pandhita asal Tosari mengatakan, secara umum, masyarakat Tengger terbagi ke dalam dua daerah kewilayahan. Yakni, Brang Wetan (Blok Timur) yang meliputi Kabupaten Probolinggo dan Lumajang. Dan, Brang Kulon (Blok Barat) yang berada di Kabupaten Pasuruan dan Malang.

Di Kabupaten Pasuruan, wilayah yang banyak dihuni Suku Tengger ada di tiga kecamatan. Yakni, Kecamatan Tosari, Puspo dan juga Tutur. Totalnya, sekitar 12 desa.
Sedangkan di Kabupaten Probolinggo, setidaknya ada dua kecamatan. Yaitu Kecamatan Sukapura dan Sumber. Sementara di Kabupaten Lumajang dan Malang, mereka tersebar di Kecamatan Senduro dan Poncokusumo. ke halaman 2

Baca Juga :   Banyak Wisatawan Batalkan Kunjungan ke Bromo
Seorang pria suku Tengger menuju ladangnya. Foto: M As’ad

Kendati dipisahkan oleh kondisi geografis, hal itu bukan menjadi kendala bagi masyarakat Tengger untuk menjalin kerukunan. Mereka bahkan acapkali berkumpul dalam satu tempat. Utamanya saat penyelenggaraan perayaan. Baik perayaan agama Hindu yang memang dianut mayoritas warga Tengger, atau perayaan suku.

Kariyadi, salah satu tokoh Tengger asal Dusun Wonokerto, Desa Tosari, Kabupaten Pasuruan mengatakan, ada sekitar 13-15 tradisi yang biasa berlaku di Tengger. Melalui kegiatan-kegiatan upacara kesukuan itu pula, nilai-nilai ajaran keagamaan dan adat Tengger dilestarikan.

Nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong royong, patuh pada pemimpin, senantiasa dipegang dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu yang membuat suasana di Tengger selalu adem ayem.

“Masyarakat sini tidak suka neko-neko, tidak suka ribut, menghindari hal yang tidak perlu,” jelasnya.

Baca Juga :   Empat Kabupaten Level 3, Bromo Tutup Lagi

Karena itu, meski situasi politik di luaran banyak dipengaruhi politik sektarian, tidak demikian dengan di Tengger. Sebaliknya, politik sektarian, dijelaskan Karyadi, justru tidak laku di Tengger. Sekalipun, untuk urusan keyakinan, Tengger saat ini sudah lebih heterogen ketimbang beberapa dasawarsa silam.

Kemenangan telak pasangan Irsyad Yusuf-KH. Mujib Imron saat Pilkada lalu bisa menjadi bukti betapa politik sektarian tidak berlaku di Tengger. Tengger, dijelaskan Sutomo, merupakan Tengering Budi Luhur. Tengering itu yang coba dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui tata pergaulan yang jauh dari nuansa konflik.

Tengger, dijelaskan Sutomo berasal dari dua kata. Yakni, Anteng (bahasa Jawa) yang berarti tenang dan damai. Kemudian, kata kedua, adalah Seger (bahasa Jawa) yang bisa dimaknai sehat dan sejahtera.

Baca Juga :   Menteri ESDM Sediakan Rp1 M untuk Modernisasi Pos Pantau Bromo

Demi muwujudkan tata hidup yang anteng dan sejahtera itu pula, masyarakat Tengger senantiasa memanifestasikannya dalam hidup yang penuh kedamaian. Karena tanpa suasana yang damai, mustahil rasanya kehidupan yang tenang bakal terwujud. Apalagi sejahtera.

Memang, tenang dan damai bukan dua hal yang bersifat instan. Keduanya akan terwujud berkat usaha warganya dalam memegang teguh prinsip-prinsip ajaran hidup masyarakat Tengger. Salah satunya, hidup bergotong royong dan saling menghormati. Termasuk, urusannya dengan politik.

Masyarakat Tengger, menurut Sutomo, tidak akan mempersoalkan perbedaan keyakinan, apalagi pilihan politik.
Bagi mereka, keyakinan dan pilihan politik adalah urusan hati. Sisanya, laku hidup yang lebih menjadi ukuran.