Guyub Rukun ala Masyarakat Tengger; Potret Kearifan Lokal di Era Digital

2245

Sistem tata nilai itu masih bertahan hingga kini. Itu pula yang membuat masyarakat setempat guyub rukun, hidup dalam ketentraman: Tengger

Laporan M. Asad

PERISTIWA itu terjadi hanya beberapa hari jelang Pemilu legislatif 2019 digelar. Beberapa punden dan tempat pemujaan di wilayah Tengger, Kabupaten Lumajang dirusak oleh orang tak dikenal. Sejumlah media pun ramai-ramai memberitakan peristiwa itu. Tak terkecuali linimasa.

Di kalangan stakeholder, insiden itu membuat mereka tak kalah sibuk. Bersama TNI dan aparat kepolisian, otoritas setempat dengan cepat menenangkan situas sebelum dimanfaatkan pihak tertentu untuk membuat kisruh suasana.

Untung saja, apa yang dikhawatirkan itu tak pernah terjadi. Suasana Tengger tetap berjalan seperti biasa. Tentram dan adem ayem. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. “Orang-orang sudah paham. Yang begitu itu, sudah pasti ingin merusak suasana. Masyarakat sini tidak akan nuruti yang begitu,” kata Sutomo, sesepuh dukun pandhita Tengger.

Baca Juga :   Banyak Wisatawan Batalkan Kunjungan ke Bromo

Masyarakat Tengger memang tergolong unik. Mereka tidak mudah mempercayai informasi yang tidak jelas asalnya. Informasi pitutur (lisan) yang berasal dari sesepuh suku, lebih diagemi (dipegang) ketimbang dari sumber lain yang belum jelas kebenarannya.
Apalagi dari internet atau media sosial (medsos).

“Sumber utama informasi tetap tetua suku, dukun itu,” ujar Sutomo.

Bagaimana masyarakat Tengger bisa sekuat itu di tengah gempuran teknologi informasi seperti sekarang ini?
Jawabnya ada pada empat ajaran yang selama ini menjadi pegangan agar bisa menyuguhkan tata hubungan yang harmonis antarsesama.

Sutomo yang menjabat sebagai ketua dukun pandhita Tengger mengungkapkan, keempat ajaran Catur Guru Bhakti itu adalah Guru Swadhyaya, yakni patuh pada Sang Hyang Widhi; Catur Guru Rupaka yang itu berharti patuh pada orang tua; Catur Guru Pengajian, yaitu patuh pada guru atau pendidik yang mengajarkan pelajaran; serta Catur Guru Wisesa yang berarti patuh pada pemerintah.

Baca Juga :   Empat Kabupaten Level 3, Bromo Tutup Lagi

Patuh kepada pemerintah memiliki arti yang cukup luas. Bukan hanya pemerintah desa. Tapi juga pemerintah dalam arti secara umum, termasuk pusat. Kewajiban untuk mematuhi para wisesa alias pemerintah lantaran merekalah yang memerintah, melayani, dan menciptakan kesejahteraan untuk rakyatnya.

Betapa patuhnya masyarakat Tengger, bisa dilihat pada partisipasi warga setempat menggunakan hak pilihnya saat Pemilu April 2019 lalu. Di Desa/Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan misalnya, dari 6 TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang ada kala itu, tingkat kehadiran mencapai 98 persen. Atau, 12.300 orang dari 13.700 nama yang masuk DPT (daftar pemilih tetap).

Tingginya animo masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya merupakan wujud lain dari kepatuhan itu. Sebuah bentuk manifestasi atas nilai-nilai kearifan yang diwariskan turun temurun.

Baca Juga :   Menteri ESDM Sediakan Rp1 M untuk Modernisasi Pos Pantau Bromo

“Dukun-dukun yang ada di masing-masing desa, selalu mengingatkan untuk hadir. Makanya, mereka yang tidak datang ke TPS, justru akan merasa malu,” terang Sutomo.

Sebagai dukun pandhita Suku Tengger, Sutomo merupakan tetua adat dalam tradisi suku lain. Ia membawahi setidaknya 47 dukun yang tersebar di kawasan Tengger yang meliputi Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan juga Malang. Dukun-dukun pandhita itulah yang biasanya bertugas memimpin ritual-ritual upacara adat dan keagamaan.

Yang patut diketahui, dukun dalam masyarakat Tengger tidak sama dengan dukun dalam masyarakat Jawa. Pada masyarakat Jawa atau suku lain pada umumnya, dukun lebih identik dengan mereka yang memiliki kemampuan klenik atau supranatural. Hal itu berbeda dengan warga Tengger. Dukun disematkan kepada mereka yang memiliki kapasitas di bidang agama.