Prostitusi dari Masa ke Masa

4041
“Prostitusi sempat dilegalkan. Bahkan ada pemeriksaan kesehatan khusus untuk pekerja seks, untuk menghindari adanya penyakit menular seksual.”

Laporan: Maya Rahma

KASUS prostitusi tidak ada habisnya meski kerap kali ditindak. Bahkan mengalami modernisasi, sesuai perkembangan zaman.

Tahukah kamu, prostitusi sudah ada sejak zaman dahulu kala. Bahkan dicatatkan sejak zaman kerajaan.

Hal ini diungkapkan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno. Berdasarkan catatan sejarah Dinasti Tang Chíu-Tang shu dan Hisin Tang shu di tahun 640 M, bahwa ada sejumlah wanita beracun di Ho-ling atau Jawa. Wanita beracun yang dimaksud yakni pekerja seks yang menularkan penyakit seksual. Para lelaki yang berhubungan dengan pekerja seks tersebut, akan menderita luka dengan nanah hingga kemudian meninggal dunia.

Prostitusi ini terus berlanjut. Di zaman kerajaan, pembelian budak seks marak terjadi dan merupakan hal lazim. Dalam catatan di buku Prostitution in Indonesia dikatakan, raja-raja di Jawa memiliki tempat khusus untuk selirnya. Sementara di Bali, janda yang tidak diterima oleh keluarganya merupakan hak milik raja dan bisa dilacurkan.

Baca Juga :   Enam “Anak Baru” Diamankan dari Warung Remang-remang

Catatan prostitusi ini dikuatkan dengan adanya manuskrip Jawa pada abat ke-19, yakni Serat Centhini. Di sana dijelaskan berbagai posisi atau teknik seksual yang dikuasai pekerja seks di Jawa. Tentunya untuk memuaskan pelanggan, yang bahkan sudah ada rumah bordil pada saat itu.

Masa Kolonial dan Jepang

Prostitusi tak pernah berhenti. Memasuki masa kolonial, prostitusi bahkan dilegalkan. Hal ini tercatat dalam riset Terence H. Hull, professor emeritus asal Australian National University. Pada tahun 1800an, penjajah Hindia Belanda melirik praktik prostitusi ini. Mereka warga lokal secara khusus bahkan disewa untuk melayani para kolonial. Para wanita lokal ini terpaksa melakoni bisnis karena permasalahan ekonomi. Keadaan ini didukung oleh aturan kolonial yang melarang bangsanya menikah dengan ras yang berbeda.

Baca Juga :   Sediakan Perempuan "Penghangat" Ranjang, Pria asal Jatiroto Patok Upah Segini

Maraknya prostitusi ini membuat pemerintah Hindia Belanda melegalkan prostitusi. Hal ini untuk mencegah munculnya penyakit menular dan hal yang tak dinginkan.

Public Women, sebutan untuk pekerja seks ini didata oleh pemerintah. Mereka bahkan diwajiban menjalan tes kesehatan rutin. Jika kemudian ditemukan penyakit menular pada wanita tersebut, maka izin untuk menjadi pekerja seks akan dicabut. Sementara, pemerintah akan membawanya ke tempat khusus untuk menjalani perawatan kesehatan.

Meski sepertinya sudah terstruktur dengan baik, kasus prostitusi semakin meluas dan tak terkendali.

Seperti pada tahun 1884, prostitusi liar marak setelah adanya pembangunan jalan serta rel yang melibatkan pekerja di Jawa maupun Sumatera. Bahkan tempat prostitusi tersebut bertahan dan semakin besar hingga sekarang.

Lalu memasuki masa penjajahan Jepang, pekerja seks ini dipilih untuk melayani tentara Jepang. Ada rumah bordil khusus yang dipergunakan untuk prostitusi ini. Rumah bordil tersebar di berbagai daerah untuk melayani tentara Jepang ini. Tak hanya pekerja seks lokal, bahkan wanita keturunan Belanda juga dipilih untuk melayani tentara Jepang ini.

Baca Juga :   Ini Fakta PBB yang Perlu Kalian Tahu

Indonesia Merdeka

Kasus prostitusi tak pernah berhenti meski Indonesia sudah merdeka. Pada sekira tahun 1960-1970an, terjadi urbanisasi besar-besaran. Pria dan wanita berbondong-bondong pindah ke kota yang jauh lebih besar. Karena minimnya skill, wanita ini biasanya menjadi pekerja seks. Baik yang ada di rumah bordil, maupun yang merangkap di panti pijat, bar dan restoran.

Semakin tak terkendali prostitusi ini. Tidak ada lagi pendataan seperti pada masa Belanda. Tidak ada lagi pemeriksaan kesehatan rutin untuk pekerja seks.

Para pekerja ini juga tidak bisa dijerat oleh hukum karena hanya masuk tindakan amoral. Hanya saja, orang yang bertindak sebagai ‘mucikari’ atau penghubung antara pelanggan dan pekerja sekslah yang bisa ditindak hukum. (*)