“Makanya, saking pentingnya kurban, kalau sampai ada orang yang sudah mampu berkurban tapi tidak mau berkurban, sama Kanjeng Nabi Muhammad dilarang dekat-dekat dengan masjid. Jangankan masuk masjid, mendekati masjid saja dilarang, padahal seorang muslim.”
Oleh : Abdur Rozaq
Orang-orang susah seperti Mahmud Wicakosno, Wak Takrip dan Cak Sueb, untuk beberapa hari sejak hari raya Idul Adha, bisa makan enak. Bisa barbekyu-barbekyu-an ala juragan pinjol, bisa bakar-bakar sate, buat pentol daging atau gule. Selama ini kan, mereka bisa makan gule atau sate hanya kala ada kunduren aqiqahan. Itupun, satu dua tusuk sate dimakan sekeluarga. Saat hari raya kurban begini, orang paling susah pun, asal rukun sama Ketua RT, takmir masjid atau panitia kurban, insya Allah bisa makan daging segar. Gratis pula. Sampai beberapa kilo, bahkan harus disimpan kulkas. Ini semua, berkah dari aksi “flexing” Nabi Ibrahim saat itu.
Seperti yang sering diceritakan Gus Karimun saat pengajian, Nabi Ibrahim itu nabi yang paling suka “flexing”. Tentu saja flexing-nya sama Gusti Allah. Coba bayangkan, Nabi Ibrahim tidak mau makan kalau tidak mentraktir tamu. Jadi jika beliau makan tiga kali sehari, ya tiga kali juga beliau mengadakan jamuan besar seraya mengajak siapa saja yang beliau temui. Kalau tiba jam makan namun tidak ada tamu, beliau akan berkeliling beberapa kilo meter untuk mencari orang yang bisa beliau ajak makan. Pokoknya, kedermawanan Nabi Ibrahim itu sudah sulit dinalar.
Suatu saat, Nabi Ibrahim mengadakan kenduri besar dengan menyembelih seribu onta, ratusan sapi dan ratusan kambing. Jangankan manusia, malaikat sampai geleng-geleng kepala. Umat beliau sampai heran, apa tidak takut bangkrut. Nabi Ibrahim dengan enteng menjawab “demi membuktikan cinta kepada Gusti Allah, jangankan onta dan sapi, anak pun kalau disuruh sembelih, akan saya sembelih.” Ucapan Nabi Ibrahim yang sebenarnya bukan nadzar itu, kemudian ditagih Allah sebagai nadzar. Makanya Nabi Ibrahim mendapat gelar khalilullah atau kekasih Allah, karena memang cintanya kepada Allah bukan seperti sumpah jabatan di negara Wak Takrip.
Allah pun, akan membuktikan kepada seluruh mahluk jika Nabi Ibrahim memang layak menyandang gelar kekasih Allah. Maka dua puluh tahun kemudian, Allah menagih “janji” Nabi Ibrahim. Diperitahlah beliau menyembelih putra tersayangnya, Nabi Ismail kecil. Nabi Ibrahim memang sempat ragu, mana mungkin Gusti Allah memerintahkan hal yang terlarang.
Namun setelah yakin dengan perintah menyembelih putranya itu wahyu, Nabi Ibrahim pun melaksanakannya. Dan, Allah ternyata hanya menguji kesetian dan ketulusan cinta Nabi Ibrahim. Toh, Nabi Ismail kecil diganti dengan kambing dari sorga oleh malaikat Jibril.
Dan sejak saat itulah, kurban disunnahkan. Bahkan bagi orang-orang tertentu, diwajibkan.
“Islam itu ada sosialismenya kok,” kelakar Gus Karimun saat ikut nyeseti daging sapi di depan warung Cak Sueb. “Tentu saja bukan sosialisme saudara kandung komunisme, apalagi atheisme.”
“Idul Adha begini, Allah menghendaki semua umat Kanjeng Nabi bisa makan enak. Zaman sekarang memang sudah hampir semua orang terbiasa makan enak. Tapi di masa-masa sulit dulu, atau di negara-negara berkembang, makan daging kurban itu cukup mewah.”
“Cita-cita Islam, memang mengikis kemiskinan. Coba kita pikir, banyak sekali ‘pungutan-pungutan’ dalam Islam. Ada zakat, infaq, sedekah, dam, diyat, kaffarat, fidyah dan entah apa lagi. Pokonya ada pelaku pelanggaran yang tidak begitu fatal, misalnya pengantin baru belah duren siang hari di bulan Ramadhan, ada dendanya. Denda pertama, membebaskan budak. Kalau tidak ada budak, ya berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Kalau tidak kuat, memberi makan enam puluh eh, tujuh puluh orang miskin. Pokoknya Islam ini jos lah.”
“Makanya, saking pentingnya kurban, kalau sampai ada orang yang sudah mampu berkurban tapi tidak mau berkurban, sama Kanjeng Nabi Muhammad dilarang dekat-dekat dengan masjid. Jangankan masuk masjid, mendekati masjid saja dilarang, padahal seorang muslim.”
“Jadi kalau misalnya Cak Paijo sudah banyak uang dari hasil proyekan tapi belum kurban, apa Cak Paijo sudah batal keislamannya, Gus?” Kelakar Mahmud Wicaksono.
“Saya tidak berani bilang Cak Paijo sudah log out dari Islam, tapi melihat hadits Nabi seperti itu, ya bisa disimpulkan sendiri lah.”
“Lha kita ini kan aneh? Wong kendaraan di dunia saja kita belani sampai kredit-kredit, lha kok kendaraan ahirat malah kita anggap enteng. Padahal, long march dari alam kubur menuju mahsyar itu berat. Buminya diganti tembaga, matahari diturunkan satu mil di atas kepala, lha kok kita mau jalan kaki, nyeker pula.”