Prof. Firman Murtadlo: Jadi Guru Swasta, Cara Bunuh Diri Paling Indah

2260

gaji guru swastsSalah satu negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia adalah Jepang. Negara ini ”pantas” meraih ”prestasi tinggi” dalam lomba depresi sedunia karena persaingan yang begitu ketat dalam berbagai hal dan masih sangat tinggi menjunjung budaya malu dan sportifitas.

Namun Indonesia, bangsa dengan kultur berbalik seratus delapan puluh derajat dengan Jepang, ternyata tak kalah dengan negeri para Yakuza itu dalam hal kenekatan penduduknya menghadapi syakaratul maut. Yang berbeda, jika di Jepang orang melakukan bunuh diri karena depresi atau malu karena mengalami kegagalan, di Indonesia orang melakukan bunuh diri dengan kesadaran penuh, bahkan tak jarang pelakunya adalah orang sangat bahagia dan terhindar dari depresi karena saking rutinnya minum kopi. Yang berbeda juga adalah jenis bunuh diri yang dilakukan oleh masyarakat kedua negara ini. Di Jepang orang melakukan bunuh diri secara formal—dengan meninggalkan surat wasiat segala—, di Indonesia orang biasanya melakukan bunuh diri secara nonformal.

Baca Juga :   Beraksi di Tiris, Seorang Pencuri Tewas Dibakar Massa

Prof. DR. Firman Murtadlo, BF, LGBT—aktivis pemerhati berbagai hal—pernah melakukan penelitian mengenai beberapa jenis serta penyebab bunuh diri nonformal masyarakat Indonesia. Ternyata, beberapa fakta mengejutkan dapat kita temui dari fenomena ganjil yang mengerikan tersebut. Berikut beberapa aksi bunuh diri nonformal yang biasa dilakukan orang Indonesia versi Prof. DR. Firman Murtadlo, BF, LGBT.

Motif bunuh diri nonformal pertama adalah dengan menjadi guru swasta di Indonesia. Sebab dengan menjadi guru swasta di negara ini bisa dipastikan seseorang akan mati perlahan-lahan karena berbagai sebab. Bisa karena ketatnya administrasi yang dituntut pemerintah, bisa karena terjangkit busung lapar, makan hati atas penganiayaan psikologis para murid dan makan hati karena kebenggalan para murid yang dilindungi HAM.

Baca Juga :   Golkar-NasDem Resmi Berkoalisi di Pilwali Probolinggo

Pemerintah –dalam hal ini menteri persekolahan—memang jarang yang berlatar belakang sebagai guru, apalagi di sekolah swasta. Dengan demikian pemerintah tidak tahu sama sekali jika di lapangan telah terjadi pergeseran fakta mengerikan. Terutama menyangkut bagaimana perkembangan brutalitas anak didik zaman sekarang.

Pemerintah mengesahkan beberapa undang-undang yang melegalkan anak didik untuk melakukan teror lahir-batin terhadap para guru, sehingga segawat apapun cara anak didik ”menguji kesabaran” guru, dilegalkan oleh negara serta dipayungi hukum. Ini disyinyalir—sebenarnya—bukan kesepakatan segenap element pejabat di dunia persekolahan, namun lebih tepatnya merupakan salah satu program jangka panjang panjenenganipun Dajjal untuk merampas Indonesia Raya. Ditemukan fakta bahwa neoimperialisme hanya bisa dilangsungkan jika agen-agen penghancurnya adalah masyarakat Indonesia sendiri, dan itu harus dilakukan secara sistematis, salah satunya adalah dengan program bangsatisasi sekolah.

Baca Juga :   Pagi Ini, Tiga Kecelakaan Terjadi di Jalur Surabaya-Malang

Kematian karena kecelakaan di jalan merupakan cara bunuh diri nonformal kedua di Indonesia. Setidaknya setiap tahun intensitas terjadinya mendekati angka seratus kali kejadian. Pemerintah memiliki komitmen untuk melestarikan lubang-lubang di jalanan seantero nusantara dalam rangka mensukseskan program keluarga berencana. Metodenya, bisa dengan menggalakkan program ”khitan massal” anggaran proyek, program iritisasi bahan pengerjaan jalan dengan mengkambing hitamkan pemenang tender.

Metode bunuh diri nonformal selanjutnya adalah alih fungsi jalan raya sebagai sirkuit. Dan ini, kemudian tidak hanya dilakukan oleh anak-anak muda semata. Kultur jam karet adalah penyebab utama bunuh diri nonformal tipe ini.