Kiamat Buatan (Refleksi Bencana Lokal)

1118

Cuaca buruk, sepertinya menambah parah penyakit sempel Firman Murtado. Indikasinya, ia makin ngawur bicara beberapa minggu terahir ini. Semua orang ngempet hobi adu domba dan ngerasani baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Takut terkena pasal “cangkem rusak”, bisa-bisa booking hotel prodeo nggak onok gawene. Firman Murtado malah makin jadi maiduh siapa saja. Semua orang se-Indonesia Raya entek ngamek kurang golek ia paiduh. Tak peduli ia pejabat, petani, rakyat biasa mulai penjual dawet hingga penjual kerupuk upil ia seneni. Orang pintar, setengah pintar bahkan orang tak makan bangku sekolahan ia paiduh. Apalagi dirinya sendiri, sudah habis ia ilok-ilokno. Hanya satu yang ia tak berani maiduh: ulama.

Para pelanggan warung kopi Cak Manap hampir sudah hapal dengan gelagat Firman Murtado. Kalau derajat kesintingan manusia aneh itu meningkat, pasti ada sangkut-pautnya dengan beras. Analisa ini-itu, disimpulkan bahwa cuacalah biang kerok derita penulis amatir itu. Maka diundanglah Firman ke warung. Ditraktir kopi dan rokok eceran, lalu ditanggap seperti topeng monyet ngamen.

Baca Juga :   30 Personel Satpol PP Hanya Mampu Menjaring Satu Wanita Diduga PSK

“Ada apa kok sampeyan sepertinya kurang enak badan, cak?” pancing Cak Manap, pura-pura tak tahu.

“Badan sih seger waras, cak. Tapi ini yang greges.” Katanya seraya menunjuk kantong kaosnya. Nah, betul kan?

“Dan ini.” Katanya lagi, menunjuk kepalanya.

“Inflasi, merembet ke stabilitas budaya, sosial bahkan spiritual.” Firman Murtado mulai nyerocos. Sebentar lagi omongannya pasti ngebul seperti juru kampanye.

IMG-20170131-WA0004

“Tapi sebenarnya, kekhawatiran saya bukan melulu soal gawat darurat beras, cak. Ada yang lebih besar dari itu. Sebab kalau saya hanya pening memikirkan siaga satu nempur beras, apa bedanya saya dengan kambing Wak Takrip?”

“Lantas?” sambut Ustadz Karimun.

“Firasat saya mengatakan, sebentar lagi ada hal gawat di kota ini.”

Baca Juga :   Remaja ABG Tewas Tertimpa Bus 'AKAS'

“Apa ada sangkut pautnya dengan goro-goro di Jakarta sana?”

“Bisa jadi. Tapi sepertinya ini bersifat lokal.”

“Seperti apa tepatnya.”

“Semacam kiamat kecil-kecilan. Coba kita dengar berita, ahir-ahir ini makin banyak orang meninggal kurang wajar di kota ini. Entah dikejar begal, kinyut banjir, jatuh di jalan berlubang, dihakimi massa, terkena DBD, tertimpa pohon tumbang, tertimbun longsor, terseret ombak, main adu gaman, diadili polisi atau diadili karena melakukan perselingkuhan. Sepertinya alam mulai balas dendam.” Ustdaz Karimun terdiam sejenak. Boleh saja orang menganggap Firman Murtado gendeng, sempel, kurang waras atau mengidap kepribadian ganda. Tapi kan bisa saja ia seorang wali mastur yang nyamar dak genah begitu. Paling tidak, ia berani mempertahankan profesinya sebagai guru swasta yang siap menjadi pahlawan bangsa tapi jadi pecundang dalam keluarga. Jika dilihat dari indikasi itu kan, Firman Murtado ada kriteria untuk digolongkan sebagai wali abdal yang memiliki cinta universal?

Baca Juga :   Aksi Pecah Kaca, Teror Warga Pasirian

“Ya, sepertinya alam mulai balas dendam karena dari dasar laut hingga puncak gunung, sudah  kita porak porandakan. Dan setiap orang ambil bagian dalam proyek besar kiamat buatan ini. Laut yang mengganas itu, ya kita yang nggarai. Ombak dan cuaca ekstrim ya kita panitianya. Cuaca ekstrim kan karena langit bocor? Radiasi sinar matahari membuat bumi memanas. Muasalnya, karena kita mbolongi ozon dengan freon kulkas, asap knalpot, pavingisasi, pembabatan kebon, dan penebangan liar.”

“Banjir bandang yang kian hari kian rutin, kian membahayakan dan merusak sawah, tambak serta perkebunan, ya karena kita membiarkan orang menggunduli hutan, mengeruk perbukitan, pavingisasi, membabati kebon dan ibu-ibu membuang popok bayi ke sungai.”