Buku Ultah yang Jadi Bisnis Zaki

790

Satu kamar tidur isinya bisa 30 orang. Tidak akan pernah tidak ada orang di kamar. Mojok ke mana pun tidak ada yang sepi.Dan… Tidak ada handphone. Santri tidak boleh membawa handphone. Disita. Sembunyi-sembunyi pun pasti ketahuan. Disita.

Pernah ada teknik penyiasatan seperti ini: menitipkan HP di rumah penduduk. Yang berdekatan dengan komplek pondok. Manakala perlu, santri pamit ke rumah tetangga itu.
Ketahuan juga.

Disita.

Lebih baik taat saja.

Itulah sikap semua santri saat ini.

Semua santri tingkat dewasa sebenarnya punya HP. Juga punya account Facebook. Tapi ditinggal di rumah asal mereka. Kelak, kalau liburan, baru dipakai lagi.

Saya bertanya ke lebih tujuh santri di Ibrahimy. Termasuk yang dari Aceh. Dari Jakarta. Dari Kalimantan. Jawabnya sama: mereka punya HP. Smartphone. Tapi ditinggal di rumah orang tua di kampungnya.

Zaki jatuh cinta setengah mati.

Mungkin anak sekarang beda. Tidak  bisa menikmati rasa jatuh cinta model ini: tidak bisa ketemu dan tidak bisa berhubungan dengan HP. Maksimum kirim surat. Sembunyi-sembunyi. Lewat kurir rahasia. Ada saja yang mau jadi kurir seperti itu. Yang suka rela atau pun karena barter.

Baca Juga :   Hormati Haul Solo, Pasangan Adjib Daftar Hari Rabu 10 Januari ke KPU

Sesulit apa pun Zaki tetap bisa berkomunikasi minimal dengan si dia. Secara rahasia. Secara sembunyi-sembunyi. Dengan kode-kode. Bahkan akhirnya tahu pula hari ulang tahunnya. Tahu Facebooknya.

Zaki akan memberi kejutan. Hadiah ulang tahun. Yang istimewa. Yang tidak biasa. Yang akan jadi pembicaraan teman-teman sesama satriwatinya.

Ia desain sebuah buku tulis. Yang bisa dipakai sebagai buku harian. Di sampul buku itu akan ia beri foto si dia. Foto yang tercantiknya. Di halaman dalam, di setiap sudutnya, akan ia beri foto yang berbeda. Foto si dia juga.

Zaki mendesain buku itu berhari-hari. Bisa dibayangkan betapa bergelora jiwanya. Betapa bergejolak hatinya.
Ia tidak sulit mendapatkan foto si dia: ambil dari foto-foto di facebook. Ia pilih satu untuk sampul. Ia pilih lagi empat untuk setiap pojok halaman dalam.

Baca Juga :   Kawasan Bromo Diguyur Hujan Abu

Buku pun jadi. Ia pandang tiada henti. Ia raba tiada tara.
Ia pun sudah tahu caranya: bagaimana mengirimkannya. Agar sampai di asrama putri si dia.

Model buku cinta itulah yang kemudian jadi bisnisnya. Zaki kini sudah bebas kuliah.

Sudah boleh sering meninggalkan asrama. Pulang ke kampungnya. Yang hanya 40 menit dari Ibrahimy.

Zaki membuka apa yang ia sebut percetakan. Modalnya: laptop, hp, printer dan kertas. Siapa saja boleh memesan buku seperti itu.

Laris.

Saya kembali menyadari ketuaan saya.

Saya sulit membayangkan siapa konsumen Zaki.

Ternyata saya benar-benar sudah tua. Saya baru tahu di perjalanan dari Banyuwangi ke Pondok ini: bahwa buku tulis anak sekolah zaman sekarang  sudah beda. Untuk SMP dan SMA.

Baca Juga :   Tim Sehat Walk Out Saat Penetapan DPT

Buku tulis yang ada di tas mereka itu ternyata bukan lagi dari toko. Melainkan buku yang sudah customized.

Zaki sering terima pesanan seperti itu. Buku tulis yang sampulnya foto si siswa. Terutama siswi. Yang halaman dalamnya juga foto. Di tiap pojoknya. Narsistis sudah sampai ke buku tulis. Menimbulkan peluang bisnis  baru. Seperti yang dikerjakan Zaki.

Bisnis kedua kelak, kata Zaki, adalah hidroponik. Sebagai anak desa ia hidup dari hasil pertanian. Terutama cabe. Tanah di desanya sangat cocok untuk tanaman lombok.

Tapi tiap musim hujan cabenya busuk di pohon. Zaki akan mengatasi semua itu.

Ia juga akan bisnis fashion. Jiwa  seninya sampai pula ke model baju. Sekalian bisa ditangani istrinya nanti.

Zaki segera menikah. Dalam hitungan bulan.

Jalan dari Banyuwangi ke Sukorejo siang itu padat dengan truk. Tapi tidak terasa. Zaki menjawab semua pertanyaan saya.