Mewujudkan Perlindungan Paripurna Pekerja

1174
Negara memberikan jaminan perlindungan yang sempurna bagi para pekerja. Mengabaikannya, jerat hukum pidana siap mengancam para pengusaha. Berikut ulasannya.

Laporan Mochammad Asad

BOS PT. TAP (Tirta Adi Perkasa), Gempol Yohanes Hartanto hanya bisa tertegun. Langkahnya gontai usai majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bangil menjatuhkan vonis 1 tahun penjara serta denda Rp 100 juta subsider kuruangan penjara 1 bulan, pada sidang dengan agenda putusan, tengah Desember 2018 lalu.

Ketua majelis PN Bangil, Asvin menyebut terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan tidak membayar upah secara penuh, serta tidak mendaftarkan sebagian karyawannya ke program BPJS Ketengakerjaan. Sebagaimana UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Penasihat hukum pekerja PT TAP, Ayik Suhaya mengatakan, putusan majelis memang lebih rendah dari tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntutnya dengan kurungan penjara 1,5 tahun. Tetapi, ia mengapresiasi langkah majelis yang bisa membuktikan adanya tindak pidana dalam kasus ini.

Baca Juga :   Jelang Kasada, Hunian Hotel Capai 80 Persen

“Tidak masalah. Yang penting kan substansinya. Paling tidak, ini juga menjadi pelajaran bagi perusahaan-perusahaan lain untuk tidak bermain-main dengan apa yang memang menjadi hak dari pekerja. Bahwa mendaftarkan karyawan ke program BPJS, upah sesuai UMK, itu adalah hak karyawan,” kata Ayik seusai sidang.

Bagi PN Bangil, vonis pidana kurungan atas konflik perburuhan bukan pertama kalinya. Pada 2014 silam, PN Bangil juga memberikan putusan yang sama atas gugatan mantan karyawannya di PT Sri Rejeki. Sempat mengajukan banding, namun Mahkamah Agung (MA) justru menambah hukuman dari 1 tahun menjadi 1,5 tahun.

Ayik menyebutkan, ada dua ketentuan pasal yang dinilai dilanggar oleh Yohanes Hartanto. Yakni, pasal 86 UU 13 Tahun 2013 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, serta pasal 90 UU yang sama tentang Pengupahan. “Selain tidak membayar penuh, yang bersangkutan juga tidak mengikutkan karyawan pada jaminan keselamatan kerja,” kata Ayik.

Baca Juga :   Perda terkait Retribusi Makam Estate masih Disusun

Negara memang berupaya memberikan jaminan perlindungan bagi pekerja secara maksimal. Jika dirunut, jauh sebelum ada UU 24/2011 tentang BPJS seperti sekarang ini, pemerintah telah membentuk UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Bukan saja mewajibakan perusahaan untuk mengikutkan karyawan pada program tersebut, UU yang yang diperinci dengan PP No 14 Tahun 1992 itu juga memberikan ancaman pidana dan juga denda bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan karyawannya pada program ini.

Hampir 10 tahun berselang, pemerintah menerbitkan regulasi baru mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan UU 24/2011 tentang BPJS. Dimana, pada regulasi terbaru ini diatur lebih detail mengenai program apa saja yang wajib diikuti oleh pekerja. Termasuk juga ancaman sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan ini.

Baca Juga :   Korban Sedan BMW Masuk Sungai Dirujuk ke Malang

Kepala BPJS Ketenagakerjaan Pasuruan, Anak Agung Karma Krisnadi mengatakan, hadirnya UU 24/2011 memang memberikan payung hukum yang lebih komprehensif mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap pekerja. Mulai dari jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, hingga jaminan kematian. “Arahnya kan memang bagaimana memberikan perlindungan secara maksimal kepada pekerja,” kata Krisnadi.

Hanya saja, dalam pelaksanaannya memang masih bergantung bagaimana pekerja dan si pemberi kerja menangkap maksud dari UU ini. Sebab, meski UU tersebut sudah berlaku sejak 4-5 tahun silam, masih banyak perusahaan yang belum mengikutkan karyawannya di program BPJS ketenagakerjaan ini.