Ulang Alik Jawa dan Islam di Masa Kolonial

2250

Oleh: Miftahul Ulum*

SEBAGAIMANA orang Jawa hari ini memahami Sastra Jawa Tradisional sebagai sebuah karya adiluhung, tinggi dan kuno, mereka lantas menganggap Sastra Jawa Tradisional sebagai sesuatu yang tak tersentuh.

Ketaktersentuhan ini berakar pada pandangan terhadap Sastra Jawa Tradisional sebagai “tradisi” yang tidak akan bisa dikenali kembali oleh generasi Jawa hari ini.

Pengagungan semacam ini menjadi tidak berarti sama sekali terhadap masa depan eksistensi Kebudayaan Jawa. Alih-alih bergerak menelusuri kembali Kebudayaan Jawa melalui karya-karya Sastra Jawa Tradisional, kita malah bergerak semakin jauh dengan meletakkan Kebudayaan Jawa ke dalam peti kuno yang menjadi pajangan dan romantisasi “barang antik”.

Irfan Afifi yang sedang gelisah terkait identitasnya sebagai seorang “Jawa” dan “Islam” sedang rakus-rakusnya menggeluti bahan bacaan terkait kedua tema tersebut.

Baca Juga :   Serunya Berselancar Wisata di River Tubing Jumpinang

Secara tidak sengaja ia menemukan tulisan Nancy K. Florida tentang gagal pahamnya sarjana kolonial memandang Kebudayaan Jawa dan Islam.

Berawal dari salah satu tulisan yang ditemukan melalui penelusuran daringnya, Irfan terus menggeluti bahan bacaan berkaitan dengan dua tema tersebut. Dan hasil terjemahan dari enam tulisan Nancy K. Florida yang diterjemahkan oleh Irfan inilah yang menjadi buku “Jawa-Islam di Masa Kolonial”.

Ulang-alik Jawa dan Islam di Masa Kolonial
Judul : Jawa-Islam di Masa Kolonial
Penulis : Nancy K. Florida
Penerbit : Buku Langgar
Cetakan : Pertama, Mei 2020
Tebal : xvi+262

Berisi enam tulisan kritis tentang Kebudayaan Jawa meliputi sastra jawa tradisional dan modern, latar belakang pujangga-pujangganya, hingga penjungkirbalikan perspektif sarjana kolonial yang diskriminatif.

Dibuka dengan tulisan penelusuran Nancy terhadap sastra-sastra Jawa Tradisional yang biasanya dianggap sebagai kebudayaan Jawa yang bernuansa Hindu-Budha.

Baca Juga :   Daerahnya Langganan Banjir, Alfin Malah Wakili Indonesia ke Australia

Anggapan ini berakar pada filolog-filolog Belanda yang sedang berkhayal bahwa keindahan kebudayaan Jawa berasal dari tradisi hindu-budha, sebelum kemudian Islam datang memporak-porandakan struktur kebudayaan Jawa.

Filolog Belanda seperti Cohen Stuart seakan ingin membuat posisi kebudayaan Jawa-Islam sebagai oposisi biner yang saling bertentangan. Padahal, Yamadipura I (kakek Ronggawarsito) sampai Ronggawarsito (pujongga penutup abad) yang terkenal dengan serat kalatidha-nya merupakan santri yang juga mendalami islam dalam perjalanan hidupnya di Tegalsari (hlm. 35).

Marjinalisasi Islam dalam Sastra Jawa Kuno dan juga terjadi dalam Kebudayaan Jawa oleh Sarjana Kolonial dapat dipahami dalam konteks kolonialis. Terutama pasca perang jawa yang kentara identitas keislaman yang dipakai oleh Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajahan.

Baca Juga :   Menyambangi Museum Pasuruan; Sebuah Kritik

Belanda melalui sarjana-sarjananya tahu betul bahwa Islam menjadi spirit perlawanan terhadap penjajahan, bahkan menjadi identitas –selain juga Jawa tentunya-. Oleh sebab itu, mereka berusaha memanipulasi dengan meniadakan peran islam dalam kebudayaan Jawa, dan celakanya “pemangku” Kebudayaan Jawa yaitu pujangga dan keluarga keraton menerima paradigma tersebut sebagai sebuah kebenaran. Sehingga menutup kemungkinan terjadinya perlawanan serupa perang jawa, dengan menjauhkan pemimpin dengan umat dan memudarkan identitas perlawanan.

Permasalahan lain yang coba disuarakan adalah soal “pelestarian” kebudayaan Jawa melalui pelestarian Sastra Jawa. Ketika ditanya pendapat tentang Sastra Jawa, jawaban yang didapat seringkali “bahwa sastra jawa terlalu tinggi, baik bahasanya maupun maknanya, sehingga kami tidak bisa memahami apa yang dimaksud oleh karya tersebut”. (hlm. 54).