Jejak Sejarah Bencana Pasuruan di Era Kolonial

4424

Tak hanya merenggut nyawa seorang bocah, sediikitnya 30 bau sawah dan 50 bau tegalan hancur tertimbun material banjir bandang. Upaya evakuasi terus dilakukan oleh pemerintah dan warga setempat, di antaranya di Desa Trewung, sebagian sudah dievakuasi.

Akibat banjir ini, sebagian besar jalan ditutup sementara lantaran banyak yang hancur. Dikabarkan di hari itu juga, banjir masih menggenang dengan ketinggian air yang tinggi. Apalagi, sehari sebelumnya, hujan terus mengguyur, sehingga terjadi banjir susulan.

Tak hanya rumah penduduk, pabrik gula Kedawung yang berada di aliran sungai tersebut juga terimbas banjir. Sekitar 40 bau tegalan milik pabrik gula Kedawoeng hancur. Beruntung, bangunan pabrik gula Winoengan hampir tidak mengalami kerusakan.

Banjir di Hindia-Belanda tahun 1925. Sumber: digitalcollections.un.

Sejumlah besar kayu, termasuk banyak batang kayu ikut terbawa air bah, termasuk di antaranya Pohon Pinus yang banyak tumbuh di dataran tinggi Lumbang.

Baca Juga :   Pasuruan Banjir, Jalur Pantura Lumpuh

Material yang tersisa, sedang dikumpulkan oleh penduduk. Langkah-langkah tanggap darurat dan bantuan untuk penduduk di daerah yang bersangkutan sedang dipertimbangkan oleh pemerintah setempat.

Sayangnya, di hari-hari berikutnya, tidak ditemukan surat kabar yang menggabarkan bantuan yang diterima warga setempat. Bahkan untuk kebijakan seperti assessment untuk hibah bangunan warga yang rusak. Atau bahkan santunan untuk korban meninggal. Apalagi untuk pembangunan fasum yang rusak.

De Kotta Onder Water

Enam tahun setelah banjir bandang menerjang Lumbang dan sekitarnya ke Kota Pasuruan. Masih dalam koran yang sama, Soerabaiasch Handelsblad, tertanggal 6 Juni 1936, dikabarkan bahwa telah terjadi banjir di Pasoeroean. “De Kotta Onder Water” begitu judul yang dipasang koran lokal Surabaya tersebut.

Banjir yang merendam sebagian Kota Pasuruan ini terjadi pada 5 Juni 1936. Banjir diakibatkan oleh luapan Kali Gembong yang mengalir di tengah kota. Air mulai meluap sekitar pukul 11 malam.

Baca Juga :   BPBD Buka Dapur Umum di Rejoso

Perlahan namun pasti, volume air di Kali Gembong semakin tinggi. Sehingga, puncaknya pada pukul 03.00 dini hari, sebagian besar kota telah terendam air.

Salah satu kampung yang terparah direndam banjir adalah Kampung Pekoendjen (Pekuncen). Dimana posisi kampung ini cukup rendah, sehingga tak butuh waktu lama kampung ini tenggelam oleh air bah.

Situasi demikian begitu menyulitkan warga sekitar, karena, di satu sisi mereka harus menyelematkan diri dari kepungan banjir, namun terhalang banjir.

Di samping itu, yang perlu diketahui, tata kota kolonial pada saat itu, diatur sedemikian rupa sesuai dengan ras masing-masing, atau yang disebut sebagai segregasi ras. Sehingga, di sisi kampung, terdapat tembok besar di belakang rumah gedong yang tinggi di Heerenstraat, yaitu kawasan orang elit eropa.

Sampai akhirnya, warga terpaksa harus menjebol tembok tersebut, guna lolos dari kepungan banjir. Warga eropa yang juga terkepung banjir juga sempat dievakuasi warga dan dibantu polisi. Disebutkan, petugas kepolisian menggunakan sebuah tali guna menyelamatkan warga Heerenstraat.

Kendati demikian, tidak ada korban jiwa akibat banjir ini. Hanya seorang pria yang kepalanya tertimpa reruntuhan lemari, sehingga ia perlu dilarikan ke rumah sakit.

Baca Juga :   Sudah ‘Kebal’, Warga Bangil Santai Saat Banjir Datang

Banjir juga merendam Kampung Djagalan, banyak harta benda penduduk yang terseret arus banjir. Bahkan rumah seorang pedagang eskrim dan sebuah toko mebel rata dengan tanah karena bangunannya diterjang banjir.

Situasi tidak lebih baik juga terjadi di Kampung Kebonsari. Ketinggian air di sana lebih dari satu meter. Di dekat Wangkal, rumah-rumah roboh diterjang derasnya air bah. Barang-barang rumah tangga tersapu banjir. Dan tentunya padi yang sudah dipanen warga juga ikut terseret.