Jejak Sejarah Bencana Pasuruan di Era Kolonial

4439

Untuk itu, dalam konteks di Pasuruan, Sarkawi mendorong, agar pemerintah dan akademisi untuk mengkaji lebih dalam terkait sejarah banjir di Kabupaten/Kota Pasuruan. Pasalnya, seringkali banjir yang terjadi berkali-kali, gagal diatasi lantaran kesalahan kebijakan yang diambil tidak bercermin pada sejarah.

“Misal di Surabaya, seharusnya sesuai masterplan, bagian Surabaya Timur itu kan untuk kawasan resapan air, hingga sekarang jadi kawasan pemukiman, yang menurut para ahli, mengingkari master plan sebelumnya,” ulasnya.

Mendukung pernyataan Sarkawi, dalam Koran De Indische Courant bertanggal 12 Desember 1933, disebutkan sejumlah faktor kelalaian manusia yang menjadi penyebab banjir.

Dalam koran tersebut, diberitakan banjir menggenangi ruas jalan penghubung antara Pasuruan-Probolinggo. Sehingga arus lalu lintas dialihkan melalui Winongan. Banjir yang menggenang ruas jalan tersebut dengan ketinggian air setinggi 80 cm pada Minggu malam.

Baca Juga :   Pasuruan Banjir, Jalur Pantura Lumpuh

Dalam konteks banjir tersebut, disebutkan sejumlah faktor yang memengaruhi banjir. Di antaranya, adanya sistem irigasi liar yang tidak terkendali di bawah Pasrepan. Akibatnya, air mengalir keluar dari saluran air yang sebenarnya.

Sarkawi juga menyebutkan, bahwa pemerintah kolonial belanda juga membangun jaringan irigasinya, selain untuk pengendalian banjir. Juga diperuntukkan untuk mengaliri perkebunan. Dalam konteks di Pasuruan, perkebunan gula.

“Jadi mereka buat irigasi untuk pengendalian banjir, bukan hanya untuk itu, tapi juga untuk kepentingan lagi-lagi perkebunan, seperti di Jember,” imbuhnya.

Selain itu, penduduk setempat membangun bendungan yang sangat tinggi di sungai dekat desa Tundosoro guna mengairi saluran irigasi lima puluhan petak sawah. Akibatnya, air mengalir ke sawah yang dataranya lebih rendah di sisi Rejoso.

Baca Juga :   BPBD Buka Dapur Umum di Rejoso

Untuk mengatasi hal itu, disebutkan dalam Koran yang sama, pemerintah pada waktu itu, dengan menahan pipa di Pasrepan, memindahkan bendungan di Tundosoro dan meningkatkan pembuangan.

Sejumlah kanal banjir juga telah dibangun oleh Gemeente Pasoeroean (Pemerintah Kota Pasuruan) guna menanggulangi bencana banjir yang kerap melanda wilayahnya. Dikutip dari De Indische Courant, Senin (2/1/1928), Gemeente Pasoeroean mengucurkan anggaran sebesar 12.500 gulden untuk membangun kanal banjir.

Adapun langkah-langkah pemerintah kolonial Belanda dalam menanggulangi banjir, Sarkawi mengulas, seringkali pemerintah membuat sudetan-sudetan, agar air tidak mengalir ke pemukiman dan tempat-tempat strategis.

“Ini yang dilakukan pemerintah kolonial di Surabaya, buat sudetan Kali Jagir, dan di Lamongan,” ulasnya.

Adapun terkait kerusakan lingkungan, Doktor lulusan UGM ini menegaskan, jika hal itu juga menjadi faktor. Namun, ia perlu untuk mendalami lagi, dalam konteks di Pasuruan. Apakah daerah hulu sungai di Pasuruan, baik sejak zaman kolonial sampai sekarang telah terjadi perubahan kondisi.

Baca Juga :   Sudah ‘Kebal’, Warga Bangil Santai Saat Banjir Datang

“Karena setahu saya, di hulu sungai Kali Lamong, sejak zaman kolonial terjadi eksploitasi hutan, terutama jati, sehingga dampaknya bisa dirasakan sampai sekarang. Nah konteks pasuruan bagaimana, perlu penelusuran lebih lanjut,” ungkapnya.

Sejarah banjir di Pasuruan, agaknya masih perlu diselami guna pembelajaran kita semua. Sebagian mozaik sudah terungkap. Mozaik-mozaik lain akan terus dikumpulkan guna menggenapi wawasan kita tentang banjir.

Agar hal-hal mengerikan akibat banjir bisa kita minimalisir sedini mungkin. Terutama untuk pembangunan sudetan Bangil Tak yang diperkirakan menelan anggaran ratusan miliar, agaknya harus segera direalisasikan guna mengurangi banjir di wilayah barat Kabupaten Pasuruan. (asd)