Jejak Sejarah Bencana Pasuruan di Era Kolonial

4439

Fasilitas umum juga tak luput dari rendaman banjir. Alun-alun kota juga tenggelam. Baik orang-orang eropa maupun pejabat pribumi berjaga sepanjang malam mengantisipasi risiko banjir.

Disebutkan dalam berita tersebut, bahwa ketinggian air di Kali Gembong tidak pernah separah itu sejak jaman dahulu. Disinyalir, hujan lebat yang turun selama beberapa hari terakhir di wilayah atas Kota Pasuruan, menjadi penyebab dari meluapnya sungai secara tidak terduga dan dalam tempo yang singkat.

Banjir di Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan

Tak hanya di wilayah timur Pasuruan, di wilayah barat yang belakangan dikenal sebagai langganan banjir, juga sejak zaman Belanda juga sering dilanda banjir. Seperti yang terjadi di Kali Anyar, Distrik Bangil.

Kampung nelayan ini, kerap kali dilanda banjir, koran De Indische Courant Van Woensdag, bertanggal 7 Februari 1934 pernah memberitakan banjir terjadi di Kalianyar.

Baca Juga :   Pasuruan Banjir, Jalur Pantura Lumpuh

Dikabarakan, banjir telah menggenangi jalan (Residen) Kabupaten Bangil-Kalianjar dan menggenangi kampung nelayan. Sejumlah fasilitas umum seperti Pasar, berikut rumah dan pekarangan warga juga terendam air.

Bupati Bangil (Residen), Asisten Residen dan salah seorang insinyur disebutkan bakal memantau langsung banjir di Kalianjar. Lantaran terdapat kekhawatiran jika, nantinya ketinggian air naik atau tanggul jebol, maka tambak ikan di sekitar Kalianyar bisa hancur.

Sawah di Grati yang terkena banjir tahun 1915. Sumber: https://collectie.wereldculturen.nl

Disebutkan pula, sebelumnya, banjir juga telah merusak kolam ikan uji coba di dekat Radji (Raci).

Di sekitar Kalianjar, dilaporkan sejumlah ratusan bangunan terancam oleh permukaan air yang tinggi.

Media ini juga menyindir, bahwa di tempat itu, pemerintah telah berupaya untuk mengatasi kemungkinan kekurangan air. Akan tetapi, tindakan untuk mengatasi banjir masih minim.

Baca Juga :   BPBD Buka Dapur Umum di Rejoso

Bangun Kanal-kanal 

Sebagaimana yang telah disinggung dalam beberapa paragraf sebelumnya, curah hujan yang tinggi kerap dituding menjadi biang banjir di wilayah Pasuruan.

Sarkawi B. Husain, Sejarawan Universitas Airlangga memberikan catatan kritis dalam melihat curah hujan sebagai satu-satunya faktor penyebab banjir di masa kolonial. Sejarawan ahli banjir ini mengatakan, sebagai contoh Surabaya di masa kolonial, curah hujan tiap tahun cenderung stagnan.

“Bahkan di tahun-tahun tertentu, curah hujan cenderung rendah, namun tetap terjadi banjir. Berarti ada faktor lain yang menjadi penyebab banjir, dan itu bisa ditelusuri ada faktor manusia yang menjadi penyebab banjir” terang Sarkawi saat dihubungi WartaBromo., Sabtu (8/5/2021).

Doktor yang menulis disertasi tentang “Mengubah dan Merusak Lingkungan Mengundang Air Bah: Banjir di Kota Surabaya pada Paruh Kedua Abad ke-20” ini, mengkalsifikasikan banjir menjadi dua macam. Pertama, banjir di wilayah agraris cenderung dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi. Sedangkan, banjir di wilayah urban (perkotaan), seringkali dipengaruhi oleh ulah manusia.

Baca Juga :   Sudah ‘Kebal’, Warga Bangil Santai Saat Banjir Datang

“Seperti bantaran sungai yang beralih fungsi jadi permukiman, penumpukan sampah dan lain-lain,” sambungnya.

Kendati Sarkawi kurang memahami konteks khusus banjir di Pasuruan lantaran lokus penelitiannya tentang banjir di Surabaya, secara garis besar, Sarkawi menekankan, bahwa penanganan banjir oleh pemerintah kolonial Belanda, tidak lepas dari konteks kepentingan ekonomi politiknya. Yaitu, untuk mengamankan perkebunan milik Belada dan orang-orang Eropa.

“Jadi harus dilihat dalam konteks ekonomi makro mereka, bahwa pengendalian banjir yang dilakukan untuk melindungi perkebunan milik mereka,” urainya.