Sebuah Catatan: Mahar Politik di Pilkada

1194

Tetapi aroma “mahar politik” selalu tercium di kalangan masyarakat, meski sulit untuk dibuktikan secara fakta dan hukum.

Kenapa? karena praktek “transaksional” tersebut hanya bisa diungkap jika ada pihak yang melaporkannya. Jadi selama tidak ada yang “berteriak”, maka selama itu pula praktek “mahar politik” sulit diungkap.

Sebagai masyarakat hanya bisa menyuarakan dan merasakan saja, tanpa bisa membuktikannya. Sehingga diharapkan peran serta masyarakat dalam mengawasi proses pencalonan menjadi lebih penting.

Namun tanggung jawab ini lebih penting lagi bagi lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan itu, khususnya Bawaslu. Lembaga pengawas tersebut harus berperan lebih serius. Jangan hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja telah melakukan pengawasan tanpa hasil yang maksimal.

Sementara peran parpol dalam proses pencalonan baiknya tidak melakukan praktik “mahar politik.” Hal ini supaya kompetensi pilkada yang bisa mewujudkan pemimpin yang berkualitas, dapat dipercaya dan dapat menjalankan fungsi pemerintahan secara optimal. ke halaman 2

Baca Juga :   Pria Asal Kraton Ditemukan Tewas dalam Rumah Dengan Tubuh Menghitam

Tentu semboyan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan beradab ini bisa meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif yang makin kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kita tidak dapat menyalahkan siapa yang melakukan atau siapa yang meminta “mahar politik”. Tetapi ketika penyelenggaraan semua pihak yang terlibat dalam pilkada melaksanakan sesuai dengan aturan, maka akan menghasilkan pemimpin yang amanah.

Ketentuan terhadap praktek “mahar politik” telah diatur sedemikian rupa dalam  Pasal 187 B UU 10/2016 yang berbunyi:

“anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hokum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana…”.

Terhadap ketentuan tersebut bagi parpol atau gabungan parpol yang terbukti menerima imbalan dikenai sanksi selain sanksi pidana bagi orang yang melakukannya. Dan bagi parpol dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. (mohon dibaca Pasal 47 ayat (2).

Baca Juga :   Diknas Kota Pasuruan Digeledah, Kapolres: Untuk Hasil, Belum Bisa Memonitor

Jadi, terhadap praktek “mahar politik” telah diatur ketentuan pidananya, karena praktek “mahar politik” merupakan kualifikasi tindak pidana yang sanksinya adalah pidana bagi orang yang melakukannya. Sementara bagi Partai Politik atau gabungan Partai Politiknya dikenai sanksi tidak boleh mengajukan calon pada peridoe berikutnya pada daerah yang sama.

Tetapi Pasal itu hanya “hiasan” dari sebuah ketentuan peraturan perundang-undangan. Kenapa? Karena sulit untuk dibuktikan secara fakta dan hukum. Kenapa sulit? karena praktek “mahar politk” adalah perbuatan yang “saling menguntungkan” bagi pihak-pihak yang terlibat dalam transaksional tersebut, maka sulit untuk diungkap secara hukum.

Namun jika ada kesungguhan dari berbagai pihak, praktek “mahar politik” pasti dapat diungkap. Selama penyelanggaraan pilkada belum ada praktek “mahar politik” dapat diungkap. Tetapi aroma dan statemen-statemen dari anggota parpol sempat diungkapkan tetapi sulit untuk dibuktikan.

Baca Juga :   Banjir Akibat Luapan Tiga Sungai di Kota Pasuruan

Maka oleh karenanya, semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada, kembali kepada jati diri masing-masing untuk memuwujudkan penyelenggaraan pilkada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan beradab. (*) ke halaman awal