Satu Dasawarsa Melawan Limbah Berbahaya (2)

5967

Nurasim, ketua Pendowo Bangkit mengatakan, dari penelusuran yang dilakukan, total ada 52 rumah yang didapati terdapat timbunan limbah B3 yang diduga dari PT. PRIA. Dari angka itu, hanya dua yang telah dinetralisasi dengan cara di-clean up oleh KLHK. Sisanya, dibiarkan tanpa kejelasan.

Bukti lain bahwa perusahaan melakukan dumping ilegal bisa dilihat dari surat pernyataan yang dibuat direktur perusahaan, Luluk Wira Hidayati pada Oktober 2013. Surat tersebut didapat media ini dari warga yang memang sengaja disimpan sebagai dokumen.

Salinan surat pernyataan yang ditandatangani Direktur PT PRIA, Luluk WR pada 2013. Isinya, perusahaan akan melokalisir timbunan limbah. Foto: Mongabay.id.

Dalam surat itu, Luluk mengakui adanya penimbunan limbah B3 di sekitar perusahaan. Atas praktik tersebut, Luluk pun berjanji untuk tidak lagi melakukan penimbunan, serta sepakat memberi kompensasi kepada desa sebesar Rp 25 juta dan beberapa dusun lainnya, Rp 10-25 juta per tahun.

Kesepakatan itu memang sempat berjalan. Tapi, hanya dua tahun yakni pada 2014 dan 2015. Menyusul merebaknya penyakit yang dialami warga pada 2016, warga kemudian menolak menerima bantuan apapun dari PT. PRIA.

Baca Juga :   Warga Protes Pipanisasi Limbah ke Kali Wrati

Di sisi lain, terkait timbunan B3 di rumah-rumah warga, pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Mojokerto beralasan menunggu kepastian siapa pihak yang menimbun limbah tersebut. “Kan belum ada keputusan siapa yang membuang atau menimbun disana,” kilah Aminuddin, kepala DLH setempat.

Direktur Ecoton, sebuah lembaga nirlaba yang concern terhadap konservasi lahan basah, Prigi Arisandi mengatakan, pemerintah seharusnya melakukan kajian dan monitoring secara menyeluruh terhadap aktivitas PT PRIA. Ia meyakini, apa yang terjadi Lakadrowo saat ini akan berdampak terhadap masa depan warga setempat. Dan, jika itu yang terjadi, biaya pemulihan yang ditimbulkan akan jauh lebih mahal.

“Ini kan jauh dari pengawasan, tidak ada yang melakukan kontrol. Ini yang kami lihat pemerintah tidak menangani dengan serius. Kan dampaknya bisa kita lihat, warga semakin menggejala, makin sakit. Warga menjadi semakin ketagihan dengan obat. Harusnya pemerintah turun. Minimal, ada tindakan,” lanjutnya.

Baca Juga :   Soal Dugaan Pencemaran Kali Wrati, Ini Kata DLH

Penuturan Prigi itu pun sejalan dengan hasil pengujian kualitas udara ambient yang dilakukan media ini di sekitar area pabrik. Hasil uji yang dilakukan akhir tahun lalu mendapati beberapa senyawa yang berpotensi mengakibatkan gangguan kesehatan. Beberapa senyawa yang teridentifikasi dari pengujian tersebut meliputi sulfur dioksida (SO2), Karbon Monoksida (CO2).

Lalu, ada juga Nitrogen Dioksida (NO2), Oksidan (O2), Hidrogen Sulfida (H2S), Amoniak (NH2), Timah Hitam (Pb), hingga Hidrokarbon (HC). Beberapa senyawa ini ditemukan pada pada dua titik lokasi pengambilan sampel yang masing-masing berada di sisi belakang pabrik, masuk Dusun Sambi Gembol, Desa Lakardowo. “Senyawa-senyawa ini juga bisa menyebabkan orang mengalami dermatitis,” kata D.A.A. Marwadewanthi, ahli teknik lingkungan ITS Surabaya.

Baca Juga :   Tak Sekali, Kali Wrati Jadi Sasaran Pembuangan Limbah

Pengujian sampel yang berlangsung satu jam memang belum cukup menjadi acuan akan indikator senyawa kimia di sekitar lokasi pabrik. Akan tetapi, yang layak dicermati adalah semakin mendekati area pabrik, kandungan senyawa kimia yang terdapat pada udara sekitar semakin padat.

Sebagai contoh, pada titik pertama yang berjarak sekitar 20 meter dari pabrik, kandungan karbon monoksida atau CO2 mencapai 2.625,0 µg/Nm³. Sedangkan pada titik kedua yang berada 400 meter di arah yang sama, kandungannya lebih rendah. Yakni 2.450 µg/Nm³. Begitu juga dengan Sulfur Dioksida yang mencapai 20,4 µg/Nm³ pada titik pertama. Dan 7,64 µg/Nm³ pada titik kedua.