Satu Dasawarsa Melawan Limbah Berbahaya (2)

5967

Hasil yang sama didapati pada pengujian sampel tanah. Dua lokasi uji sampel yang dilakukan mendapati sejumlah senyawa kimia berbahaya pada lahan di sekitar lokasi pabrik. Seperti Ammonia, Calcium, Magnesium, Sodium, Potasim, hingga Timah Hitam atau timbal.

Indonesia sendiri sejauh ini belum memiliki parameter yang menjadi rujukan ambang batas senyawa kimia pada tanah. Namun, paling tidak, pada timbal, kandungan senyawa berbahaya itu mencapai 18,7 Mg/Kg pada lokasi sampel pertama. Dan 25,4 Mg/Kg pada titik sampel kedua.
Prigi Arisandi meyakini, munculnya senyawa-senyawa berbahaya itu diduga akibat pembakaran limbah medis oleh PT. PRIA yang tak sempurna. Secara kasat mata, dugaan itu bisa dilihat dari kepulan asap hitam yang kerap muncul saat pembakaran berlangsung.

Jindrich Petrlik, ahli toksologi asal Ceko yang juga sempat mengunjungi Lakardowo pada November 2019 lalu mengamini analisa Prigi. Secara kasat mata, pembakaran limbah medis oleh PT PRIA berpotensi memunculkan senyawa kimia berbahaya berupa furan dan dioksin. Sayangnya, untuk mengujinya, Indonesia belum memiliki parameter yang cukup memadai.

“Proses pengujiannya juga tidak sesederhana seperti menguji kuliatas udara atau tanah. Pengujian hanya bisa dilakukan melalui sampel darah atau telur,” katanya sesaat setelah mengunjungi Lakardowo. Ia datang untuk melakukan penelitian bersama Ecoton terkait kemungkinan adanya pencemaran akibat aktivitas PT PRIA.

Baca Juga :   Warga Protes Pipanisasi Limbah ke Kali Wrati
Rumah Jamak, satu dari dua rumah warga yang telah di-clean up karena ditimbuni limbah B3. Masih ada puluhan rumah di Lakardowo yang didalamnya terdapat timbunan B3. Foto: Mongabay.id

Hasil penelitian oleh Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya pada 2017 silam bisa menjadi bukti lain tingginya kandungan senyawa di Lakardowo. Dalam laporannya, penelitian yang dimpimpin ahli geologi Dwa Desa Warnana, menemukan kandungan logam berat cukup tinggi di sekitar area pabrik.

Lokasi penelitian dilakukan dengan mengambil sampel di lima titik dengan kedalaman berbeda-beda. Titik 1 sampai 3 di kedalaman 10 meter. Sedang titik 4 dan 5 di kedalaman 5 meter. Setiap meter kedalaman diambil sampelnya untuk diuji.

Proses pengujian dilakukan dengan menggunakan teknik fluoresensi sinar X (XRF). Menurut Dwa, teknik tersebut dipergunakan untuk menentukan konsentrasi unsur kimia dengan cara mengukur panjang gelombang dan jumlah sinar X yang dipancarkan kembali setelah sinar X ditembakkan.

Jadi, prinsip kerja dari metode ini adalah dengan cara menembakkan radiasi elektromagnetik ke material yang diuji. Radiasi elektromagnetik yang dipancarkan akan berinteraksi dengan elektron yang berada di kulit suatu unsur. Pantulan dari sinar X itulah yang kemudian dihitung berdasar metode tertentu. Dimana, intensitas pantulan sinar X tersebut sebanding dengan jumlah atau konsentrasi atom dalam sampel.

Baca Juga :   Soal Dugaan Pencemaran Kali Wrati, Ini Kata DLH

Dikatakan Dwa, kelebihan dari metode ini adalah dapat menentukan kandungan mineral dalam bahan biologi maupun tubuh secara langsung, serta memiliki akurasi yang tinggi. Selain itu, juga dapat menentukan unsur kimia dalam material yang diuji.

Hasil pengujian sampel yang dilakukan, terungkap adanya kandungan logam cukup tinggi. Misalnya, pada titik 1, secara berurutan, kandungan Ferrum (Fe) berkisar antara 24.804-37.137 ppm pada kedalaman 5-6 meter; mangan 163,42-779,16 ppm di kedalaman 5-6 meter.
Selain itu, konsentrasi Cobalt (Co) juga ditemukan dengan jumlah 239, 68 ppm di kedalaman 4-5 meter. Bahkan, konsentrasi lebih tinggi hingga 282, 84 ppm terdapat pada kedalaman 8-9 meter. Senyawa timbal (Pb) atau timah hitam juga ditemukan di kedalaman 7-8 meter. Kosentrasinya mencapai 12, 63 ppm.

Temuan yang sama juga didapat pada lokasi pengeboran titik 2. Misalnya saja, kandungan Ferrum (Fe) mencapai 38.074 Ppm; Mangan (Mn) 574, 01 Ppm; Cobalt (Co) 341 PPm; Strontium (Sr) 631, 23 ppm; Zirconium (Zr) 73, 45 ppm; Seng (Zn) 71, 34 ppm; Tembaga (Cu) 116, 27 ppm; Rubidium (Rb) 26, 74 ppm; dan Timbal (Pb) 50, 93 ppm.

 Pada pengeboran titik 3, senyawa yang ditemukan lebih parah lagi. Sebut saja Ferrum (Fe) 44. 475, 26 ppm; Mangan (Mn) 2. 619, 97 ppm; Strontium (Sr) 497, 85 ppm; Cobalt (Co) 287, 26 ppm; Tembaga (Cu) 79, 25 ppm. Kemudian, Zirconium (Zr) 68, 92 ppm; Seng (Zn) 60, 88 ppm; Rubidium (Rb) 22, 79 ppm; Timbal (Pb) 10, 3 ppm; dan Arsenik (As) 6, 42 ppm.

Dwa mengatakan, logam berat sejatinya merupakan unsur esensial yang dibutuhkan setiap makhluk hidup. Akan tetapi, dalam kadar tertentu justru menjadi racun. Di alam bebas, unsur tersebut biasanya ditemukan dalam bentuk terlarut atau tersuspensi. Atau bahkan dalam bentuk ionik.

Keberadaan logam berat di lingkungan pada taraf tertentu akan membahayakan kehidupan dan kesehatan manusia. Baik secara langsung maupun tidak langsung karena sifatnya yang sulit didegradasi dan terurai ketika terakumulasi di perairan.