Sumpah Lahir

759

“Ada apa, Mak?” tanya Maria.

“Tidak ada apa-apa, Nak. Sebentar ya sarapannya belum siap!” jawab Nenek Urifah sambil tetap menggendong Febila.

Maria terbelalak melihat semua perkakas acakadul dan pecah. Maria langsung merebut Febila yang sedang digendong sang nenek. Maria meletakkannya di kasur kemudian menampar dan mencubiti tubuh bayi mungil itu. Febila menangis dengan sangat lantang. Banyak kalimat buruk yang Maria ucapkan untuk Febila.

Sang nenek menangis melihat perilaku Maria yang kejam kepada buah hatinya. Nenek Urifah berusaha menghindarkan semua ini terjadi tapi tangan Maria dengan keras menampiknya. Berkali-kali nenek mencoba hingga akhirnya berhasil menyelamatkan Febila dari kemarahan ibu kandungnya.

Maria menangis setelah melakukan aniaya terhadap putrinya sendiri dan mengunci kamarnya. Sang nenek menciumi Febila sambil mengoleskan minyak telon di bekas cubitan dan tamparan Maria pada tubuh Febila.

Dalam jeda sepuluh menit, tiba-tiba Rojak datang. Rojak kaget melihat tubuh Febila yang sedang dibaluri minyak oleh sang nenek di ruangan depan. Melihat Rojak terpancing emosi, sang nenek menahan Rojak untuk menemui Maria dan mempersilakannya menggendong Febila yang sudah lama tak ia temui.

Baca Juga :   Cinta Pertama

Rojak menimang Febila di ruang tamu sambil berisak tangis. Nenek dengan sengaja tidak memberitahukan kedatangan Rojak kepada Maria karena khawatir akan ada pertengkaran antara keduanya setelah sekian lama tak bersua.

Maria membuka kunci pintu kamarnya. Ia menuju ke arah kamar mandi. Nenek dan Rojak masih asik mengajak main Febila. Usai dari kamar mandi, Maria kaget menyaksikan Rojak di rumahnya. Ia sangat bahagia melihat Rojak dan mendekatinya.

“Ini untuk pertama dan terakhir kalinya, cam kan ini!” tegas Rojak pada Maria.

Senyum dan semangat Maria seketika berubah menjadi tangis dan sesalnya. Rojak tidak memedulikan Maria dan meninggalkan amplop berisi uang belanja di meja ruang tamu. Kemudian, Rojak bergegas pamit kepada nenek dan Febila.

Baca Juga :   Gara-gara Nikah Siri, Seorang Bripka Bertugas di Polres Pasuruan Kota Kena Kurung 21 Hari

34 tahun berlalu…

Febila menangis kepada ibunya. Ia sudah tidak tahan lagi dengan beban karena belum bisa memberi satu anak pun di usia pernikahannya yang telah menginjak tahun ke sembilan. Ia pernah mengalami abortus  dua kali yaitu di tahun 2012 dan 2015. Dan, hingga 2021 ini, Febila tak pernah merasakan tanda-tanda kehamilan lagi.

Febila sudah putus asa dan tak berdaya setelah semua usaha yang ia upayakan. Ia merasa tak sempurna menjadi istri meski suaminya tak pernah mempermasalahkan hal ini begitu dalam.

Febila mengutarakan kepada ibu apakah ia harus rela mempersilakan suaminya menikah lagi seperti yang ayah lakukan. Sontak ayah dan ibunya melarang Febila melakukan hal yang tidak diperlukan. Ayah dan ibu Febila menasehati untuk tetap bersabar dan bersyukur insyaallah semua akan indah di waktu terbaik.

Baca Juga :   Arimbi

Febila merasa lebih tenang dan pamit untuk kembali ke kediaman.

Setelah Febila pergi, kini giliran ayah dan ibu yang menangis. Ayah dan ibu khawatir Febila semakin rapuh meski ini adalah pertama kali mereka melihat minder yang dahsyat pada diri Febila. Ayah dan ibu ketakutan jika ucapan ibu tiri Febila saat itu bakal terwujud.

Poligami mungkin pilihan yang salah tetapi Allah tidak akan pernah salah. (*)

 

*Barotun Mabaroh, SS, M.Pd., dengan nama pena Rebbeca Arju, adalah dosen Universitas PGRI Wiranegara Pasuruan. Ia memiliki intensitas dalam riset di bidang Pendidikan Bahasa Inggris serta aktif menulis sastra dan artikel di media massa. Motto hidupnya adalah “Bermanfaatlah saat ini, bukan nanti, karena nanti mungkin tak kan dapat ditemui”