Cerita Setiyono Bagi-bagi Proyek, Terima Fee hingga “Mengkotak” Dwi Fitri (Bagian 2, habis)

2941

“Tim sukses,” imbuhnya.

Baca juga: Cerita Cara Setiyono Bagi-bagi Proyek (Bagian 1)

Tak Tentukan Besaran Fee

Fee proyek menjadi hal yang juga diakui dinikmati Setiyono, selain telah mengatur atau mengkondisikan pemenang tender proyek di lingkungan Pemkot Pasuruan.

“Sebelumnya Bapak terima fee nggak dari proyek-proyek itu dari rekanan yang melaksanakan proyek di Pasuruan itu?” cecar Kiki, JPU KPK.

Dahi Setiyono pun sedikit berkernyit sesaat tercekat, meski akhirnya utarakan jawaban dengan kalimat pengakuan sedikit mengambang.

“Jadi memang saya salah. Tapi saya tidak menerima (fee) itu sebelum proyek dilaksanakan dan juga setelah dilaksanakan saya tidak menentukan,” akunya.

Setiyono menerima uang panas itu, di antaranya terdesak kebutuhan. Sebagai Wali Kota, Setiyono mengaku banyak mendapat keluhan. Program bantuan sosial, yang lumrah digunakan seorang kepala daerah, pun saat ini sudah tak ada.

“Sebagai wali kota, saya banyak kebutuhan. Di Pasuruan itu Pak, bangun tidur saja sudah ada yang minta sumbangan,” selorohnya.

Baca Juga :   KPK Tahan Setiyono selama 20 Hari

Hal lain fee diterima, lantaran ia harus menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait selisih harga, pengadaan lahan kantor Kecamatan Panggungrejo. Rekomendasi itu, mewajibkan selisih Rp2,9 miliar tersebut, harus dikembalikan.

Meski BPK menyatakan bisa diangsur, namun ia harus lekas-lekas turun tangan membantu, karena kejaksaan justru menyatakan, pembayaran angsuran tidak menutup kasus itu. “Kejaksaan bilang, kalau diangsur itu berarti belum selesai. Akhirnya saya harus berusaha menyelesaikannya,” terangnya. ke Halaman 3

Kebingungannya itu diungkapkan, setelah Handoko, pemilik lahan yang telah dibeli untuk kantor Camat Panggungrejo, hanya mampu menyiapkan Rp2,4 miliar. Padahal dalam kacamata wajar, jumlah keseluruhan senilai Rp2,9 miliar, sepatutnya masih menjadi tanggungjawab yang harus dikembalikannya.

Sang Wali Kota menghubungi sejumlah kepala dinas, namun tidak ada uang. Dwi Fitri Nurcahyo pun jadi pahlawan, setelah setorkan uang yang dibutuhkan, melalui Wahyu, yang selanjutnya diserahkan ke Hendrik.

Baca Juga :   Sidang Dakwaan Penyuap Wali Kota Setiyono Berlangsung Singkat

“Saya tanya, ada uang ndak. Pak Dwi bilang ada,” aku Setiyono.

Pada 23 Agustus 2018, sekira pukul 20.00 WIB, Hendrik, keponakannya datang ke rumah dinasnya. Saat itu, Hendrik membawa 7 amplop putih bertuliskan nama-nama rekanan pelaksana proyek di Kota Pasuruan. Mengaku tak ingat nama-nama rekanan tertulis di amplop, terkumpul uang lebih Rp200 juta.

“Terus terang saya sangat membutuhkan. Saya salah menerima itu. Tapi, sebagai Wali Kota, saya juga banyak kebutuhan,” katanya pelan.

Berkenaan dengan tetapan besaran jumlah rupiah atau persentase fee yang disebut-sebut dipatok Dwi kepada rekanan, Setiyono coba meyakinkan tak pernah memerintahkan.

“2016 itu. Saya tahu. Saya panggil. Saya panggil lagi. Sampai begitu ketiga, saya staf ahlikan,” ujar Setiyono, mengungkap sikap “nakal” Dwi.

Sanggahan itu terekam dalam BAP lanjutan nomor 7 huruf e, yang tertulis pada halaman 4 dari 6 halaman, dari pemeriksaan tertanggal 25 Oktober 2018.

Baca Juga :   2 Koper dan Kardus Berisi Berkas Diamankan KPK di Ruang Walikota Pasuruan

Atas informasi yang saya dapatkan, saya baru mengetahui bahwa saudara Dwi Fitri Cahyono tidak transparan kepada saya dan menyalahgunakan kepercayaan dan nama saya,” penggalan BAP yang dibacakan JPU Kiki.

Selanjutnya Dwi dipanggil ke rumah dinas,  mengingatkan agar Dwi Fitri Nurcahyo transparan kepadanya dan  melarang meminta fee 7,5% sampai dengan 10%.

“Karena saya tidak pernah meminta sebesar itu, tapi semampunya,” keterangan Setiyono dalam BAP.

Tentu saja penolakan Setiyono soal tetapan besaran fee, masih belum dikonfrontir dengan pengakuan Dwi Fitri. Sehingga, praktik ploting kemudian mengutip uang dari rekanan itu terungkap kebenarannya.

Setiyono ditetapkan tersangka, setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada 4 Oktober 2018 lalu. Status tersangka terkait suap menyuap PLUT, juga disematkan kepada Dwi Fitri Cahyono, Plh Kadis PUPR dan Wahyu, staf Kelurahan Purutrejo. Selain M Baqir, pihak swasta yang saat ini terjadwal jalani persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya.