Menguji Efektivitas Audit BPK untuk Mencegah Kerugian Negara

2440

Adnan Topan Husodo, koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) mengatakan, sesuai ketentuan, ada tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK. Yakni, pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).

Menurut Adnan, ketiga jenis pemeriksaan itu memiliki tujuan dan output berbeda. Pada pemeriksaan keuangan misalnya, dilaksanakan untuk memastikan laporan keuangan pemerintah sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi.

Hasil dari pemeriksaan ini dinyatakan dalam bentuk opini. Yakni, Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW) dan Disclaimer, yang merupakan predikat terendah dalam klasifikasi opini laporan keuangan.

Kemudian, pemeriksaan kinerja yang dimaksudkan untuk menguji kinerja atau program yang dijalankan berlangsung efektif atau sebaliknya. Sedangkan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) adalah pemeriksaan dengan tujuan khusus. “Termasuk dalam pemeriksaan ini adalah pemeriksaan investigatif,” terang Adnan.

Baca Juga :   Vila-vila Mewah Penunggak Pajak

Dalam konteks pencegahan kerugian negara, BPK sejatinya memiliki peran penting. Hanya saja, hal itu bergantung pada sejauh mana rekomendasi-rekomendasi yang dibuat BPK pasca audit berlangsung dilaksanakan entitas bersangkutan.

Bila diilustrasikan, kata Adnan, audit oleh BPK adalah semacam diagnosa awal atas penggunaan uang negara. Apakah terdapat kesalahan prosedur atau pelanggaran ketentuan perundangan di dalamnya.

“BPK kemudian mengeluarkan rekomendasi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ditemukan itu. Persoalannya, seberapa besar rekomendasi yang diberikan itu dijalankan? Karena ini berkaitan dengan pencegahan itu tadi,” kata Adnan.

Sebagai permisalan adalah ketika BPK mendapati sebuah proyek unprosedural di sebuah entitas hingga berpotensi menyebabkan kerugian negara. Atas temuannya itu, BPK lantas merekomendasikan agar proyek dimaksud tak dilanjutkan. Tetapi, oleh entitas bersangkutan rekomendasi tersebut tak dijalankan

Baca Juga :   Pemkab Probolinggo Raih Opini WTP Ketujuh Secara Beruntun

Pada ilustrasi itulah BPK dinilai gagal melakukan pencegahan. “Apa yang semula oleh BPK disebut sebagai potensi kerugian akhirnya menjadi kerugian material. Artinya, potensi kerugian itu benar-benar terjadi karena rekomendasi yang diabaikan tadi,” terang Adnan.

Karena itu, jika pencegahan korupsi dan atau kerugian negara menjadi penekanan, BPK harus lebih serius mengawal pelaksanaan rekomendasi yang diberikan. “Karena titik poin dari pencegahan itu pada pelaksanaan rekomendasi itu,” lanjutnya.

Persoalannya, beleid yang ada tidak secara detil mengatur pemberian sanksi bagi entitas yang tidak menjalankan rekomendasi BPK. Jika pun diabaikan, rekomendasi-rekomendasi itu hanya akan menjadi piutang yang belum dijalankan.

Kritikan yang sama juga disampaikan Direktur Pusat Studi Advokasi Kebijakan (Pus@ka) Lujeng Sudarto. Menurutnya, meningkatnya entitas yang meraih opini WTP tentu layak diapresiasi. Tetapi, capaian itu belum cukup untuk memperbaiki citra Indonesia dalam hal pemberantasan korupsi.

Baca Juga :   BPK Catat Utang 15 Perusahaan, 1 Ponpes ke RSUD Bangil yang Belum Terbayar

Hal itu didasarkan pada hasil survei indeks pemberantasan korupsi oleh Transparansi Indonesia tahun 2020 lalu. Menurut Lujeng, merujuk laporan tersebut, Indonesia kini berada di urutan 102. Turun 15 peringkat dari tahun sebelumnya yang berada di posisi 87 dari 180 negara di dunia.

“”Artinya, opini WTP yang diraih sebuah lembaga, bukan jaminan tidak ada fraud atau korupsi. WTP hanya mengartikn bahwa pemerintah atau lembaga tersebut telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan baik,” jelas Lujeng.

Namun demikian, pihaknya sepakat bila audit oleh BPK tetap menjadi hal yang penting. Terutama untuk membantu meningkatkan sistem pemerintahan yang terbuka dan akuntabel (good financial governance).