Sakit Nalar Para Perawat Orang Sakit, Catatan untuk RSUD Bangil

761

Oleh: Asad Asnawi, Jurnalis WartaBromo

SEJUJURNYA saya seperti kehabisan kata ketika hendak mengomentari konser musik yang digelar di RSUD Bangil, Rabu (2/8/2023) malam lalu. Saya seperti hilang akal dan hanya bisa menggelengkan kepala.

Bagaimana mungkin rumah sakit, tempat merawat orang sakit justru menggelar kegiatan yang memicu keramaian dan kebisingan? Sungguh sesuatu yang tidak masuk akal. Nalar siapapun sulit menerimanya. Termasuk saya.

Memang, pihak rumah sakit telah melakukan persiapan yang begitu matang agar kegiatan tersebut tidak sampai mengganggu para pasien. Termasuk dengan memindahkan pasien di sekitar stage ke ruangan lain.

Tapi, apa iya, demi konser itu, para pasien harus dioyong-oyong kesana-kemari? Apalagi, juga demi konser itu pula rumah sakit meng-hold pasien rujukan dari fasilitas kesehatan (faskes) lain untuk sementara waktu. Setidaknya sejak acara itu dimulai hingga selesai.

Dua tahun berjibaku melawan pandemi menjadi alasan manajemen rumah sakit untuk menghadirkan konser musik sebagai hiburan. Dalihnya, karena sebagian besar para nakes di RSUD Bangil yang jumlahnya seribu lebih itu adalah millenial. Sehingga, konsep hiburan disesuaikan dengan selera mereka?

Tidak salah memang. Semua manusia butuh hiburan. Pertanyaannya, apakah harus konser musik dengan gemerlap lampu yang penuh dengan hingar bingar? Tidak adakah cara lain?

Dari sisi kepatutan dan kepantasan, jelas alasan itu tak layak. Toh masih banyak cara lain membangkitkan semangat dan spirit, tanpa harus melanggar asas kepatutan. Tapi, ide yang digagas RSUD Bangil ini benar-benar out of the box. Karena sepanjang yang saya tahu, belum pernah ada ceritanya sebuah pentas musik digelar di rumah sakit.

Sadar akan derasnya kritik, Bupati Pasuruan Irsyad Yusuf berusaha membela. Ia menolak bila penampilan grup musik beraliran rock asal Jakarta itu sebagai konser. Melainkan hiburan untuk para nakes. Sekaligus tasyakuran atas capaian-capaian yang diraih RSUD Bangil. Kegiatan itu juga sebagai ajang promosi logo dan juga peresmian gedung baru RSUD Bangil.

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konser sebagai sebuah pertunjukan musik di depan umum. Dengan begitu, tak perlu memperdebatkan apakah penampilan band Kotak malam itu sebagai konser atau bukan.

Faktanya, kegiatan itu menghadirkan banyak orang. 1100 lebih karyawan dan 300 lebih undangan yang sesekali nyanyi bareng, berjingkrak bareng.

Tanpa disadari, Bupati sejatinya membantah pernyataannya sendiri. Menyebut bahwa kegiatan itu sebagai ajang promosi, tetapi tidak melibatkan khalayak. Karena logika promosi adalah mereka yang berada di luar objek yang dipromokan. Supaya tidak ada istilah jeruk makan jeruk.

Menceritakan keberhasilan RSUD Bangil hanya kepada karyawannya sendiri, tak ubahnya onani otak. Padahal, jika mau jujur, ada banyak keluhan terkait pelayanan dan kinerja rumah sakit pelat merah itu.

Jika tidak percaya, coba saja cek ulasan mereka yang pernah ke RSUD Bangil .Mulai dari sikap nakes yang tak ramah -cenderurng kasar-, hingga antrean yang begitu panjang. Seorang pasien bahkan mencerita mengantre sejak dari pukul 06.00 pagi hingga pukul 12. 00 belum juga dipanggil. Kalau sudah begitu, apa yang bisa dibanggakan, meski punya bangunan semegah itu?

Kami tidak menolak adanya tasyakuran, peresmian atau acara-acara seremonial apapun sepanjang tidak kelewatan. Toh hal itu sudah menjadi tradisi di kalangan lembaga pemerintah, ketimbang berpikir substansi. Tetapi, setidaknya tidak berlebihan dan melanggar kepatutan atau kepantasan.