Ngobrol Bareng Mantan Kombatan dan Napi Terorisme tentang ke-Indonesia-an

1442

Ali Fauzi mengatakan, ada sekitar 31 orang yang tergabung dalam peleton ‘khusus’ upacara perayaan kemerdekaan itu. Selain mantan kombatan dan narapidana terorisme, di antara mereka, ada juga kerabat pelaku. Sebagai komandan peleton adalah Yoyok Edi Sucahyo.

Sama halnya Yusuf, Yoyok sebelumnya aktif di gerakan radikalisme. Paham tersebut ia dapat dari gurunya, Abu Taqi sekitar 1991 hingga 1994 silam. Saat ini, Abu Taqi merupakan salah satu komandan ISIS di Syiria. Dari Abu Taqi, kemudian bergabung dengan gerakan Abu Sayyaf di Mindanao, Filipina pada kurun 1998-2001.

Dari kelompok militer yang berbasis di Filipina Selatan itu, Yoyok yang dibantu Ustad Iswanto, bertugas menyuplai kebutuhan logistik jaringan. Termasuk, memasok senjata dan juga material bom ke milisi Ambon dan juga Poso pimpinan Ali Fauzi kala itu.

Tidak beda dengan Yusuf, Yoyok pun sukses mengomandoi anak buahnya saat pembacaan ikrar.

Baca Juga :   Taman Kota Semakin Tak Terawat, Warga Pasuruan Mengeluh

Ali Fauzi mengungkapkan, sejatinya ada banyak mantan kombatan atau pelaku teroris yang ingin kembali ke NKRI. Atas dasar itu pula, ia kemudian mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian, sebuah lembaga yang fokus untuk mewadahi mantan-mantan kombatan, pelaku terorisme, hingga kerabat mereka.

Berdiri tepat pada 29 November 2016, lembaga yang berlokasi di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, itu diresmikan langsung oleh Komjen. Suhardi Alius, Kepala BNPT.

“Yayasan ini memang untuk menampung teman-teman yang sudah ‘kembali’ ke NKRI,” kata Ali Fauzi.

Sejak dibentuk dua tahun silam, saat ini, sudah ada 43 orang mantan narapidana terorisme yang bergabung di lembaganya itu. Sedangkan 11 orang merupakan mantan kombatan alias pernah terlibat dalam sejumlah pertempuran melawan pemerintah.

“Sebagian besar memang mantan napi teroris atau kombatan. Tapi, ada juga yang tidak, cuma kerabat. Jadi, kerabat-kerabatnya yang dulu sempat terlibat terorisme, akhirnya bergabung juga disini. Ada anaknya atau saudaranya,” jelas Khozin sambil menunjuk ke lelaki berkacamata, agak jauh dari tempatnya berdiri.

Baca Juga :   Warmo Rewind 2018: Bom Pogar dalam Kenangan

Lelaki yang dimaksud Khozin adalah Zulia Mahendra, anak dari Amrozi, pelaku bom Bali I yang telah dieksekusi mati 2008 silam.

Semula, Hendra –biasa Zulia Mahendra- dipanggil belum bisa terima, dengan keputusan negara yang menghukum mati sang ayah. Sempat mendendam dan berkeinginan melanjutkan aksi ayahnya, Hendra belakangan mulai tersadar.

Untuk pertama kalinya, saat agustusan 2017 lalu, di markas Yayasan Lingkar Perdamaian, ia mengikuti upacara bendera. Bahkan, pada upacara pertama dalam hidupnya itu, ia bertugas sebagai pengibar bendera. Begitu juga saat upacara kemerdakaan tahun ini. Meski tak lagi menjadi petugas pengibar bendera, ia berada di baris paling depan bersama koleganya yang lain. “Sudah waktunya untuk membangun negeri ini,” terangnya singkat.

Baca Juga :   Ini Video Amuk Massa Terhadap Begal di Nguling Pasuruan

Bagi Ali Fauzi, kehadiran para koleganya pada upacara kemerdekaan itu, sebagai bentuk afirmasi terhadap pemerintah dan juga negeri ini.

“Mereka sudah mengevaluasi, bahwa visi-misi yang mereka dengungkan selama ini, itu salah. Mereka menyadari itu. Bahwa saat ini, saat yang tepat untuk bergabung dengan masyarakat Indonesia lainnya, untuk membangun negeri,” terang Ali Fauzi di pendapa alun-alun.

Kesadaran itu pula yang coba ia bangun, bersama komunitasnya di Yayasan Lingkar Perdamaian. Berangkat dari perasaan yang sama, mimpi yang sama, ia berharap teman-temannya bisa berpikir dan bertindak lebih produktif. Dan itu akan bisa dicapai jika kehidupan negeri ini berlangsung dengan damai.

Menurut Ali Fauzi, yayasan yang didirikannya memiliki konsentrasi pada control flow integrity (CFI). Selain menampung kombatan dan mantan narapidana kasus terorisme untuk kembali ke NKRI, YLP juga membawa misi melakukan pencegahan terorisme di Indonesia.