Icip-icip Opak Gulung Nenek Napisah

1560
Senja-kala menggelayuti hidup Napisah (72) warga Desa/Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo. Namun ia pantang menyerah. Tetap semangat mengais rezeki berjualan opak gulung demi sesuap nasi.

Choirul Umam Effendi, Probolinggo

KETIKA ufuk mulai menampakkan diri dari arah timur, Napisah beranjak dari tempat tidurnya. Ia kemudian mempersiapkan bahan baku untuk membuat kue opak gulung. Cetakan, tepung beras, tepung terigu, telur, gula, dan santan kelapa. Tak lupa memeriksa kompor gas. Setelah semuanya siap, bahan-bahan itu ia tinggalkan.

Wanita tua ini pun ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Usai salat subuh, Napisah kembali ke dapur. Seorang diri, ia mencampur adonan tepung dengan santan dan juga bahan bahan lain. Adonan siap, ia menyalakan kompor gas dua tunggu. Di masing masing tungku, sudah ada dua cetakan opak gulung.

Perlahan-lahan adonan kue ia tuangkan ke satu per satu cetakan. Wanita yang sudah 5 tahun menjanda itu, lantas membolak-balik cetakan. Sembari mengontrol panas dari kompor. Tujuannya, agar kue yang dipanggang matang merata.

“Saya sudah lama nak membuat jajanan Opak gulung ini. Kira-kira ada belasan tahunan saya memproduksi. Ya untuk mengisi waktu kosong. Uangnya untuk makan sehari-hari, sisanya saya tabung untuk persiapan kalau meninggal nanti,” tutur nenek Napisah dalam bahasa Madura sambil mengangkat opak gulung yang sudah matang.

Saat lelah mendera, ibu 2 anak ini pun rehat. Dalam 1 hari, ia paling banyak memproduksi 30 bungkus opak. Satu bungkus dihargai Rp8 ribu. Dengan begitu, sehari maksimal mendapatkan penghasilan kotor Rp240 ribu. Dikurangi bahan-bahan kue, hasil bersihnya tak lebih dari Rp50 ribu.

Semua opak gulung yang dibuatnya merupakan pesanan langganannya. Karena itu, tidak ada kata tidak laku. Setiap kali membuat selalu ada saja yang memesan. Karenanya ia tidak perlu risau pemasaran. Pasarlah yang datang sendiri kepadanya.

Rasanya yang renyah dan terasa legit di mulut, membuat opak gulung buatannya dicari orang. Tentunya, itu bukan tanpa alasan. Hal itu didapat karena ia mempertahankan cara membuat tradisional. Sehingga cita rasa tetap terjaga.

“Turun temurun. Ini saya diajari oleh ibu saya. Tetapi anak saya tidak mau meneruskan. Tetap secara tradisional. Untuk ini yang saya ganti hanya kompornya. Kalau dulu kompornya pakai minyak gas. Tetapi sekarang pakai kompor gas. Jadi lebih memudahkan,” akunya.

Produksi kue opaknya terus menurun seiring bertambahnya usia. Maklum di rumah bercat putih itu, Napisah tinggal sendirian. Dua anaknya ada di rumahnya masing-masing di lain desa. Dulu ketika Heli, suaminya masih hidup, produksi opaknya sekitar 500 bungkus per hari.

“Kalau masih ada suami banyak, sekarang sudah gak sanggup,” terangnya.

Semenjak ditinggal suaminya, Napisah hanya melayani permintaan dari toko-toko sekitar saja. Padahal dulu, merambah hingga Kota Probolinggo. Anaknya sendiri tidak mau diajari membuat opak gulung. Padahal, jajanan tradisional itu adalah warisan turun temuruan.

Meskipun usianya telah lanjut dan memiliki anak, ia tetap semangat untuk mengais rezeki demi kelangsungan hidup. Napisah tidak mau menggantungkan masa tuanya untuk dikasihani anak.

Menurutnya, dari pada uang anaknya diberikan kepadanya lebih baik untuk menyekolahkan anaknya. Sehingga, nantinya bisa hidup lebih baik dan berpendidikan.

“Saya tidak pernah meminta uang anak. Lebih baik saya membuat opak gulung untuk memenuhi kebutuhannya. Enak begitu. Jadi anak saya biar merawat dan menyekolahkan anaknya. Kam sekarang biaya sekolah besar,” tandas Napisaj sambil merapikan cetakan yang telah rampung.