Kyai, Cahaya dan Tangga Langit

3209

Arif, mahasiswa penganut Gatoloco dan Dharmogandul itu ngeyel ketika bertabayyun, eh berdebat dengan Kyai Sa’dullah.

”Dulu, di Jogja ada sekelompok orang membakar kitab Ta’limul Mutaallim karena kitab itu dinilai diskriminatif. Mengkultuskan kiai berlebih-lebihan padahal Nabi saja memanggil murid-murid Beliau dengan sahabat” Kiai tersenyum penuh arti.

”Itulah keindahan akhlak Nabi. Secara pribadi beliau menempatkan diri sebagai sahabat bagi murid-muridnya. Tapi tentu saja para sahabat juga pandai menempatkan diri. Orang-orang yang kata Sampeyan membakar kitab Ta’limul Mutaallim itu mungkin kurang lengkap dalam mengkaji literatur masa lalu, jadi informasi yang mereka terima kurang berimbang”

”Mohon maaf, Kiai. Bukan saya bermaksud mendebat, tapi apa ada hadits yang secara eksplisit menjelaskan bahwa dalam Islam diperbolehkan mengkultuskan kiai?” Kiai Sa’dullah tersenyum penuh arti mendengar pertanyaan Arif.

”Bukan hanya hadits, mas. Al Qur’an pun, meski tidak secara gamblang memerintahkan itu. Berkali-kali Allah memerintahkan agar kita berbakti kepada kedua orang tua. Dan, sebagian besar mufassir menafsirkan bahwa kedua orangtua itu yang pertama adalah guru atau dalam bahasa praktek budaya santri adalah kiai, yang kedua ibu dan bapak sekaligus mertua.”

Baca Juga :   Ada 12 Kepsek Disinyalir Ikut Kampanye Bumbung Kosong

Bansersantri01

”Jadi…?”

”Benar, derajat kiai atau guru setingkat lebih tinggi dari kedua orangtua. Bahkan ibu. Kenapa demikian, karena kiai telah berjasa menuntun ruh kita kembali ke langit. Bapak dan ibu menurunkan ruh kita dari langit karena adanya jasad, sedang guru atau kiai mengembalikannya ke langit. Kiai yang memperkenalkan kita kepada Allah, kepada Nabi, pada ahirat”.

”Ada juga ulama yang berpendapat bahwa derajat kiai bagi seorang murid dibawah ibu. Tapi masih diatas bapak. Kenapa demikian?. Karena ibu bagi seorang anak telah dijamin dalam sebuah hadits. Ketika seorang sahabat bertanya kepada Nabi, siapakah manusia yang paling harus dimulyakan oleh seorang anak, Nabi menjawab ibu sampai tiga kali. Derajat ibu, tiga kali lebih tinggi dari derajat bapak. Lantas kenapa derajat kiai lebih tinggi dari bapak, itu karena seharusnya yang mendidik anak – terutama ilmu agama—adalah bapak, namun diserahkan kepada kiai. Bukankah seharusnya yang berkewajiban mendidik ilmu agama kepada anak dan istri adalah bapak?”

Baca Juga :   Septic Tank Kantor Arsip Probolinggo Meledak, Pegawai Panik

”Ruh kita, sebenarnya berada di langit. Tenang, selamat, tidak menanggung kewajiban untuk beribadah dan merasakan kesulitan hidup. Lantas, karena terbentuknya jasad kita setelah ibu dan bapak menikah, mau tidak mau ruh kita diturunkan dari langit untuk mengisi jasad tersebut. Karena pada masanya nanti kita harus kembali ke sorga dan biasanya guru yang menuntun kita, maka wajar kita derajat guru begitu tinggi”.

”Mengenai derajat kiai bagi murid, Nabi pernah memberi peringatan tegas, man jahadal ustaadza, maata bighairi imaan. Barangsiapa yang durhaka terhadap guru, akan mati tanpa membawa iman. Hadits ini sahih, sanadnya kuat dan sudah terbukti bahkan sejak Nabi belum dilahirkan. Kita lihat bagaimana nasib Yahuda atau Yudas yang mati disalib karena mendurhakai Nabi Isa, gurunya”.

Baca Juga :   Wartawan Probolinggo Kena 'Tipu' Kapolresta

“Ingat, kiai-kiai kita adalah wakil para Nabi yang menyelamatkan kita dari gelapnya kebodohan. Jangan sampai kita menyakiti beliau-beliau meski hanya dengan mimik wajah kurang menyenangkan. Kiai-kiai kita adalah para manusia mulya yang wajib, sekali lagi wajib, kita mulyakan. Kalau ingin hidup kita selamat, mari mulyakan kiai-kiai kita. Sebaliknya, kalau ingin hidup kita hancur, sakiti mereka”.

“Al muriidu kal mayyit, murid itu seperti mayat. Harus pasrah kepada kiai seperti mayat ketika dimandikan dan dikafani oleh Pak Mudin. Coba, apa pernah ada mayat minta kain kafannya diganti batik agar disebut cinta budaya Indonesia?”